Stigmatisasi Pemberitaan Terorisme di Media Online


Abstrak
Penelitian ini yang mencoba mengetahui pemberitaan tentang peristiwa terorisme terhadap media massa online, yaitu Tempo.com, Kompas.com, serta Antara.com, dan untuk mengetahui stigmatisasi media massa tersebut dalam pemberitaan terorisme. Penelitian ini salah satu penelitian wacana kritis dengan menggunakan model Theo Van Leeouwen, yaitu dengan melihat proses ekslusi dan inklusi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat posisi media massa tersebut dalam pemberitaannya, baik proses ekslusi maupun inklusi, sehingga melahirkan stigmatisasi dalam pandangan khalayak sebagai pembaca. Berdasarkan analisis yang dilakukan, terlihat posisi media massa tersebut “gamang” bahwa media massa tersebut sering tidak seimbang dalam menampilkan sesuatu, sehingga ada kelompok yang termarginalkan. Selain itu, media massa tersebut selalu memakai simbol agama Islam dalam pemberitaanya, sehingga akan menimbulkan makna stigmatisasi dalam pandangan masyarakat terhadap berita yang ditampilkannya.

Kata kunci: stigmatisasi, ekslusi, inklusi, terorisme, media online

PENDAHULUAN
Peristiwa pengeboman kerap kali terjadi di Indonesia. Aksi pengeboman yang menjatuhkan korban ratusan orang telah menyisakan cerita yang panjang di negeri ini, terutama kejadian di Bali, Kedubes Australia, Kedubes Filipina, JW Marriot dan Ritz Carlton, sebagai bukti sejarah pengeboman tragis di Indonesia. Sosok pelaku selalu menghiasi laman utama media, baik media cetak maupun media elektronik. Sekarang, pemberitaan itu semakin merambas, bahkan selalu menjadi berita yang hangat untuk diperbincangkan.
Media massa memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat modern. Media tampil sebagai jembatan atau sumber informasi yang membentuk pandangan publik yang menyajikan berbagai macam berita. Berita yang disajikan adalah suatu peristiwa atau kejadian yang telah diamati oleh seorang wartawan kemudian direpresetasikan kedalam teks berita. Eriyanto (2009) menyampaikan bahwa salah satu agen terpenting dalam mendefinisikan kelompok adalah media. Melalui pemberitaan yang terus-menerus disebarkan, media secara tidak langsung membentuk pemahaman dan juga kesadaran di kepala khalayak mengenai suatu peristiwa.
Aksi terorisme adalah bahan yang selalu menarik untuk diberitakan oleh media massa. Sejumlah media massa, baik di luar negeri maupun di Indonesia tidak pernah melewatkan peristiwa aksi terorisme dalam pemberitaan mereka. Aksi dan sepak terjang terorisme, belakangan dilakukan oleh kelompok kecil di Gowa Sulawesi Tengah, dan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang menarik perhatian media massa. Aksi teror sekelompok orang yang melakukan penyebaran ketakutan pada masyarakat mengandung unsur penting dalam sebuah berita yaitu nilai berita ‘konflik’. Selain itu jatuhnya korban, besarnya kerusakan yang ditimbulkan aksi terorisme merupakan unsur penting yang diburu oleh media massa.
Isu terorisme ini menarik untuk dianalisis, salah satunya karena kondisi pers Indonesia di era reformasi berada dalam era kebebasan, media tidak lagi dibebani dengan ketakutan akan pembreidelan dan pencabutan SIUPP sebagaimana era sebelumnya. Meskipun demikian, ada ‘kegamangan’ bagi media, saat menyiarkan dan memberitakan trend kekerasan bernafaskan sentimen agama khususnya soal terorisme. Media yang memberitakan aksi terorisme tidak semudah memberitakan persoalan politik dan kegiatan sosial yang terjadi sehari-hari di tengah masyarakat.
Bisa dikatakan, dalami tengah suasana aksi terorisme sesungguhnya media berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Realitas adalah hasil dari ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang disebut oleh George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesannya bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya. (Bungin, 2008:12).
Realitas atau kenyataan sosial (social reality) adalah realitas sosial suatu masyarakat yang sedang melaksanakan berbagai penyesuaian modernitas. Media massa kadang memposisikan diri pada tiga hal antara lain, keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Media massa digunakan oleh kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin uang dan pelipatgandaan modal lewat penyajian beritanya. Posisi kedua adalah adanya keberpihakan semu kepada masyarakat. Media massa seolah berpihak pada rakyat dalam bentuk simpati, empati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, tapi ujung-ujungnya “menjual berita” dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis atau pihak pemilik modal.
Keberpihakan kepada kepentingan umum adalah posisi media yang terakhir. Bentuk keberpihakan ini merupakan arti sesungguhnya yaitu visi setiap media massa, meski akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar. (Bungin, 2008:196-197) Aksi terorisme menjadi salah satu menu penting dari media massa dan dijadikan headline pemberitaan. Persoalannya terletak bagaimana media menggambarkan dan menyampaikan beritanya secara objektif.
Pemberitaan-pemberitaan tersebut menimbulkan stigmatisasi pemaknaan, sehingga menumbuhkan opini publik yang keliru. Hal itu sesuai dalam pengertian di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1994: 720) bahwa stigmatisasi adalah ciri yang menempel pada seseorang karena pengaruhnya. Maka maksud penulis dalam penelitian ini adalah media massa online, Tempo.com, Kompas.com, dan Antara.com, yang dalam pemberitaanya sering me-labe-li setiap pelaku terduga terorisme sebagai benar-benar sebagai teroris yang sebenarnya, selain itu media massa tersebut juga selalu menampilkan simbol-simbol agama tertentu dalam setiap pemberitaannya, sehingga turut andil dalam mambangun opini publik keliru atau sesuatu yang belum tentu pasti kebenarannya.
Persoalan terorisme di Indonesia ditinjau dari analisis wacana yang melihat teks berita sebagai alat media massa untuk merepresentasikan sikap, kebijakan dan ideologi. Fenomena pemberitaan bisa dibedah dengan dengan pisau analisis wacana kritis (AWK), untuk bisa memaknanya secara utuh. Pada penelitian ini peneliti menganalisa teksnya dari segi ekslusi dan inklusi, untuk akan melihat stigmatisasi. Penelitian ini menggunakan model analisis wacana ini Theo Van Leeuwen, yaitu untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu keompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana, sehingga terjadinya stigmatisasi dalam pandangan khalayak.
Theo Van Leeuwen dalam karyanya yang berjudul “The representation of social actors” dalam Carmen Rosa Caldas-Coulthard dan Malcom, Text and Practice: Readings in Critical Discourse Analysis (1996:32-69) melihat bahwa bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya. Sementara kelompok lain yang posisinya rendah lebih cenderung untuk terus-menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk.
Analisis Van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua pusat perhatian yaitu; pertama, proses pengeluaran (exclusion). Apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang digunakan. Proses pengeluaran ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Kedua, proses pemasukan (inclusion), yang berkaitan bagaimana masing pihak atau kelompok tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Diharapkan penelitian dengan model ini akan bisa memperlihatkan stigmatisasi pemberitaan terorisme dalam media online.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berjenis kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil (Moleong, 2002:7). Metode deskriptif merupakan sebuah metode penelitian yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, dan menginterpretasikan data. Pendapat senada, diungkapkan Semi (1993:24), penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif berarti memiliki data yang terurai dalam bentuk kata-kata, bukan angka-angka. Pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif ini berpandangan bahwa semua hal yang berupa system tanda tidak ada yang boleh disepelekan. Semua penting dan memiliki pengaruh serta kaitan dengan yang lain.
Penelitian ini menggunakan model Theo Van Leeuwen, yaitu sebuah model analisis wacana, untuk mendeteksi atau mengetahui bagaimana suatu kelompok hadir sebagai kelompok yang dimarginalkan. Analisis Van Leeuwen menampilkan bagaimana aktor dan pihak-pihak (perorangan atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua titik fokus perhatian dalam analisis wacana ini. Pertama, sebagai proses pengeluaran (exclusion) yaitu apakah dalam ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan. Proses pengeluaran ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu.
Kedua, proses pemasukan (inclusion). Proses bagaimana suatu kelompok atau aktor ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Theo baik ekslusi maupun inklusi, terdapat strategi wacana tertentu, dengan menggunakan kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan ke dalam sebuah teks.
Objek penelitian adalah berita tentang terorisme dalam media massa online nasional Tempo.co, Kompas.com, dan Antara.com. Pemilihan ketiga media massa online tersebut karena media tersebut bertaraf nasional, dan sudah berdiri sejak lama dalam dunia pemberitaan. Berita yang diambil adalah berita yang dimuat pada tahun 2015, berjumlah 6 (enam) berita, yang masing-masing 2 (dua) berita per media. Pembahasan ini diharapkan bisa memperlihatkan bagaimana sikap dari media massa dalam pemberitaannya, baik proses ekslusi dan inklusi, sehingga melahirkan stigmatisasi dalam pandangan khalayak sebagai pembaca.

PEMBAHASAN
Pada bagian pembahasan ini akan dianalisis berita-berita tentang terorisme, yang dimuat dalam tiga buah media massa, yaitu Tempo.com, Kompas.com, dan Antara.com. Berita-berita tersebut dimuat dalam kisaran tahun 2015, yang terdiri dari 6 (enam) buah berita. Adapun analisis berita-berita tersebut adalah seperti di bawah ini.
Berita 1
Judul
Terduga Teroris di Makassar Dibekuk Seusai Salat Isya
Nara sumber
seorang satpam kompleks perumahan, Husdar, Kepala Polda Sulawesi Selatan dan Barat, Inspektur Jenderal Anton Setiadji,
Frame/Pokok Berita
Tempo.com merepresentasikan bahwa mahasiswa yang rajin shalat banyak yang menjadi teroris, selain itu Tempo.com juga memakai kata “tertembak” seolah-olah tidak sengaja ditembak Densus 88.
Representasi
Tempo.com tidak menjelaskan alasan ditangkapnya sejumlah mahasiswa sebagai teroris, padahal baru dugaan.
Ekslusi dan Inklusi
Tempo.com adanya inklusi terhadap teroris, banyak membicarakan seolah-olah sejumlah mahasiswa yang siap shalat ditangkap benar-benar pihak yang bersalah, meskipun tidak dijelaskan penyebabnya sehingga dianggap sebagai teroris.
Stigmatisasi
Adanya pemberitaan ini, akan memberi pandangan yang buruk dan berstigmatisasi terhadap sejumlah mahasiswa, apalagi mahasiswa yang dekat dengan urusan agama, terutama agama Islam.

Berita 2
Judul
Kontras: Polisi Gegabah dalam Penanganan Terorisme
Nara sumber
Nasrum, Wakil Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi, dan hasil reportasi wartawan Tempo.com.
Frame/Pokok Berita
Meskipun judulnya seolah-olah kesalahan polisi, tetapi tetap saja Tempo.com merepresentasikan bahwa pihak lain yang yang salah, misalnya perkataan pihak Kontras, yang menuduh polisi yang salah, dan mahasiswa bernama ke-islaman itu didiga teroris.
Representasi
Tempo.com kembali tidak menjelaskan alasan ditangkapnya sejumlah mahasiswa sebagai teroris, padahal baru dugaan.
Ekslusi dan Inklusi
Tempo.com adanya inklusi terhadap teroris, banyak membicarakan pada sisi terorisnya, dan nama-nama mahasiswa yang bernada Islam itu sebagai teroris, dan pihak polisi di ekslusikan seakan-akan tidak bersalah.
Stigmatisasi
Adanya pemberitaan ini, akan memberi pandangan yang buruk dan berstigmatisasi terhadap sejumlah mahasiswa, apalagi mahasiswa yang dekat dengan urusan agama, memakai nama bernada Islam, dianggap teroris.

Berita 3
Judul
Rupert Murdoch Salahkan Kaum Muslim atas Teror di Prancis
Nara sumber
dari pengguna twitter dan hasil reportasi wartawan di media sosial Kompas.com.
Frame/Pokok Berita
Judulnya seakan-akan menyela pernyataan Rupert Murdoch, tetapi debalik itu Kompas.com secara tidak langsung menyatakan bahwa orang muslim itu teroris, karena di berita dikatakan bahwa pernyataan Rupert Murdoch difavoritkan oleh 2000 orang.
Representasi
Kompas.com memberitakan sesuatu tanpa adanya wawancara langsung, tetapi hanya diambil dari komentar twitter, dan komentar yang diambil pun tidak seimbang.
Ekslusi dan Inklusi
Kompas.com mengekslusikan muslim sebagai pihak yang tersudutkan, termaginalkan, dan menginklusikan bahwa pernyataan Rupert Murdoch ditonjolkan dengan seakan-seakan benar.
Stigmatisasi
Adanya pemberitaan ini, stigmatisasi khalayak kepada kaum muslim atau Islam semakin menjadi-jadi, sehingga kaum muslim dinyatakan benar-benar teroris.

Berita 4
Judul
Diduga Teroris, Densus 88 Tangkap 5 Mahasiswa Asal Bima di Makassar
Nara sumber
Irjen.  Pol Anton Setiadji, Kapolda Sulselbar, dan hasil reportasi wartawan Kompas.com.
Frame/Pokok Berita
Kompas.com merepresentasikan bahwa mahasiswa tersebut adalah teroris, dan menyatakan anggota Mujahidin Indonesia Timur adalah kelompok teroris.
Representasi
Kompas.com tidak memberikan tempat yang seimbang, mahasiswa itu hanya dugaan teroris, belum teroris.
Ekslusi dan Inklusi
Kompas.com menginklusikan mahasiswa/pemuda di Bima, san anggota MIT sebagai teroris, yang ditonjolkan hanya satu pihak, yaitu bahwa Densus 88 benar, dan pihka Kompas.com terlalu mudah percaya dengan perkataan polisi tanpa adanya penelurusan lebih lanjut.
Stigmatisasi
Adanya pemberitaan ini, akan memberi pandangan khayalay yang buruk dan berstigmatisasi bahwa umat Islam itu teroris, MIT itu teroris, dan teroris memang pantas mati ditembak oleh Densus 88.

Berita 5
Judul
Polisi Sita Senjata Api dari Teroris Tewas
Nara sumber
AKBP Hari Suprapto, Kepala Bidang Humas Polda Selawesi Tengah, dan hasil reportasi wartawan Antara.com.
Frame/Pokok Berita
Antara.com merepresentasikan bahwa Mujahidin Indonesia Timur (MIT) adalah benar-benar teroris, dan teroris adalah anggota MIT.
Representasi
Antara.com tidak menjelaskan bahwa orang tersebut benar-benar teroris atau tidak, dan Antara.com mengatakan dua orang terduga teroris tersebut mati “tertembak” seakan-akan tidak disengaja ditembak, jelas-jelas disini adanya marginalisasi.
Ekslusi dan Inklusi
Antara.com mengekslusikan bahwa Densus 88 tidak bersalah atas penembakan/pembunuhan terduga teroris, padahal baru “terduga”, selain itu menginklusikan bahwa kata-kata teroris, seolah-seolah benar-benar yang disalahkan, tanpa adanya investigasi lebih lanjut, dan Antara.com terlalu percaya dengan perkataan polisi.
Stigmatisasi
Adanya pemberitaan ini, akan memberi pandangan yang buruk dan berstigmatisasi terhadap kaum muslim, karena memakai Mujahidin Indonesia Timur, meskipun itu bisa dikatakan Islam garis keras, namun pandangan khalayak tetap pada Islamnya.

Berita 6
Judul
Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris di Makassar
Nara sumber
Brigjen Agus Rianto, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, hasil reportasi wartawan Antara.com.
Frame/Pokok Berita
Antara.com merepresentasikan bahwa tindakan Densus 88 itu benar, karena menangkap teroris meskipun baru tersangka.
Representasi
Antara.com tidak menyediakan tempat untuk pihak terduga teroris sebagai pihak yang ditampilkan, disini terlihat adanya marginalisasi.
Ekslusi dan Inklusi
Antara.com tidak melakukan verifikasi dengan mencari tahu langsung dengan pihak terduga dan sumber-sumber lain, di sini Antara.com hanya bersumber pada satu pihak.
Stigmatisasi
Adanya pemberitaan ini, akan memberi pandangan yang buruk dan berstigmatisasi segala sesuatu yang bernafas Islam itu teroris, apalagi orang Indonesia pergi ke Suriah, yang belum pasti bergabung dengan ISIS, tetapi tetap dilabel teroris dengan nama Islam.

Berdasarkan dari kajian teks yang ada, dapat ditemukan bahwa kebanyakan berita terorisme yang disajikan oleh media massa, Tempo.com, Kompas.com, dan Antara.com mengabaikan nilai-nilai jurnalistik yang seharusnya mengedepankan keberimbangan pemberitaan. Terbukti saat informasi soal kejadian atau peristiwa terorisme, Tempo.com, Kompas.com, maupun Antara.com lebih banyak percaya kepada klaim dan pernyataan dari lembaga atau badan yang berwenang seperti pihak Kepolisian dan Densus 88. Secara etis, seharusnya media massa memiliki konsep penting tentang keseimbangan narasumber.
Berdasarkan analisis dari keenam berita-berita di atas, bisa ditelusuri bahwa setiap media online tersebut memuat berita kurang memenuhi persyaratan sebagai berita yang padu. Artinya, masih banyak sumber-sumber yang tidak ditampilkan dalam pemberitaan tersebut, atau sengaja dihilangkan. Berita-berita yang disajikan hanya didukung satu pihak, sehingga ada pihak yang termaginalkan, yaitu para teroris.  Bahasa-bahasa yang digunakan banyak yang menjurus ke isu-isu agama, terutama agama Islam. Apapun segala sesuatu yang berbau Islam ditampilkan dalam pemberitaan, misalnya nama-nama Islami, tempat ibadah, kelompok atau organisasi Islam tertentu ditampilkan secara gamblang, bahkan universitas yang bernafaskan Islam.
Berita-berita yang ditampilkan tidak berimbang, sehingga sudah melenceng dari kode etik jurnalistik. Mayoritas pemberitaan yang ditampilkan oleh ketiga media massa online, baik Tempo.com, Kompas.com, maupun Antara.com hanya memihak pada satu sudut, tanpa melihat sudut yang lain. Media-media tersebut hanya mengejar ratting media yang dikelolanya, sehingga dalam pemberitaan ada yang terabaikan. Media massa tersebut lebih percaya kepada pihak tertentu, baik kepolisian atau polri, maupun Densus 88, tanpa berani untuk melakukan verifikasi dengan investigasi langsung ke pihak yang termaginalkan.
Selain itu, pihak-pihak terkait seperti polri, kepolisian, dan Densus 88 tidak mendapatakan sanksi apa-apa, yang sudah membunuh para terduga teroris juga. Padahal para korban yang ditembak tersebut hanya “berstatus” terduga, belum pasti sebagai teroris. Jika ditelusuri lebih lanjut, pihak Densus 88 atau kepolisian juga bersalah karena telah membunuh orang lain yang belum tahu kejelasannya. Selanjutnya, bahasa-bahasa yang dipakai oleh ketiga media massa tersebut banyak yang mengalihkan makna. Misalnya saja, pada kata terori “tertembak”, yang seolah-olah tidak sengaja ditembak oleh pihak Densus 88 atau pihak kepolisian. Seharusnya menggunakan kata “ditembak”, biar benar-benar sesuai fakta. Hal ini tentu karena para teroris itu meninggal jelas ditembak dengan sengaja, bukan ditembak dengan coba-coba.
Pada setiap pemberitaan, ketiga media tersebut selalu ada memakai simbol-simbol agama Islam, yang seakan-akan agama Islam lah yang menyimpan teroris. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, Islam itu agama yang indah penuh keindahan, damai penuh dengan kedamaian. Hingga pada akhirnya, pemberitaan seperti itulah yang memberi pandangan buruk terhadap agama Islam dan kegiatan-kegiatan Islami. Pandangan itu akan membawa stigmatisasi bahwa orang beragama Islam itu teroris, suka membunuh, seka kekerasan, dan lain-lain. Sebaliknya, banyak agama-agama lain yang justru lebih brutal melakukan pembunuhan, seperti yang terjadi di Rohingya. Kekejaman para kaum budhis dalam membantai kaum muslim secara massal, rumahnya dibakar, masjid dihancurkan, seperti itu juga yang terjadi di India, dan di negara-negara lainnya, justru kaum muslim yang jadi korban.
Namun tetap saja stigmatisasi seperti itu khalayak sudah terlanjur melekat di benaknya, sehingga apapun tindakan umat Islam yang baik selalu saja ada yeng memelintirkannya dalam media massa, seolah-olah yang dilakukan umat Islam itu tidak benar. Sebalikbnya, apapun dan oleh siapapun tindakan serta sekecil apapun kekerasan yang dilakukan umat Islam, bakal ditindaklanjuti dan akan diberi label sebagai terorisme oleh media. Media massa tidak pernah memakai seperti kata  mujahid, tetapi kata teroris, seolah-olah Islam agama yang meneror.
Stigmatisasi khalayak, para kaum muslim dengan ciri-ciri tertentu harus diburu, dan diduga teroris. Hal itu bisa dilihat dari pemberitaan tiga media massa tersebut, yang mayoritas bahasanya “terduga teroris”, bukan teroris. Ketiga media lebih percaya kepada isu-isu yang belum tentu benar, tetapi sudah diberitakan. Pemberitaan seperti ini akan melahirkan masalah baru, dan salah pemaknaan bagi khalayak sebagai pembaca. Padahal seharusnya, media massa harus memberitakan kebenaran sebagai penengah dalam membawa kedamaian.

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan dari kajian teks yang ada, dapat ditemukan bahwa kebanyakan berita terorisme yang disajikan oleh media massa, Tempo.com, Kompas.com, dan Antara.com mengabaikan nilai-nilai jurnalistik yang seharusnya mengedepankan keberimbangan pemberitaan. Terbukti saat informasi soal kejadian atau peristiwa terorisme, Tempo.com, Kompas.com, maupun Antara.com lebih banyak percaya kepada klaim dan pernyataan dari lembaga atau badan yang berwenang seperti pihak Kepolisian dan Densus 88. Secara etis, seharusnya media massa memiliki konsep penting tentang keseimbangan narasumber. Selain itu, bahasa-bahasa yang digunakan adanya pengalihan makna, seperti kata “tertembak”, seakan-akan tidak sengaja ditembak, padahal sesungguhnya sudah dipastikan Densus 88 sengaja menambak, meskipun hanya brstatus terduga teroris, belum teroris.
Pada setiap pemberitaan, ketiga media tersebut selalu ada memakai simbol-simbol agama Islam, yang seakan-akan agama Islam lah yang menyimpan teroris. Islam kembali termaginalkan dengan bahasa wacana ekslusi dan inklusi. Sehingga paradigma Islam sebagai agama yang indah dan damai terhapus dan kemudian diganti dengan stigmatisasi yang buruk dari khalayak atau pembaca. Maka, ada kecenderungan bahwa Tempo.com, Kompas.com, maupun Antara.com hanya bersandarkan pada sumber satu arah yaitu sumber kepolisian, dan seakan apa saja fakta atau pendapat dari kepolisian merupakan satu-satunya kebenaran yang tidak perlu dicermati lagi apakah ini sebuah kebohongan atau rekayasa belaka sebagai pengalihan isu, atau menyudutkan Islam.
Disarankan, semoga pada setipa pemberitaan yang akan ditampilkan media massa seperti Tempo.com, Kompas.com, maupun Antara.com, bisa lebih cerdas, cermat, dan hati-hati dalam menampilkan sesuatu dalam pemberitaan. Apalagi mengenai terorisme, yang sensitif dan suatu masalah yang banyak bersinggungan dengan masyakarat luas. Harapan ini agar pemberitaan yang dilakukan tidak ada yang merugikan siapapun dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai jurnalistik.

DAFTAR RUJUKAN
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Bungin, Burhan. 2008.Sosiologi Komunikasi (Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Leeuwen,Theo Van. 1996. The Representation of social actors, dalam Carmen Rosa Caldas-Coulthard, Text and Practice. Routledge, London.
Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
          Rosdakarya.
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Sumber lain:
Tempo.com, 27 Mei 2015
Tempo.com 4 Juni 2015
Kompas.com 12 Januari 2015
Kompas.com 26 Mei 2015
Antara.com 24 April 2015
Antara.com 24 Mei 2015


Tulisan ini sebagai Tugas Akhir Matakuliah Perbandingan Wacana di Magister FBS UNP, diampu oleh Dr. Ngusman Abdul Manaf, M.Hum.

0 Comments