Berani Hijrah itu Cantik


Bila saja boleh memilih, sebagai pria normal, saya lebih memilih manis daripada cantik. Cantik hanya bisa dilihat (fisik), tapi manis berada pada rasa (hati). Artinya begini, kata “cantik” muncul karena adanya kata “jelek”. Kita sering mendengar “cantik banget sih cewek itu”, atau “jelek amat sih cewek tadi”. Sebaliknya kalau kata “manis” muncul dari dalam diri seseorang, bukan hanya penglihatan.

Jika menilai dari fisik, kata “manis” muncul bukan karena adanya kata “pahit, asin, asam, hambar”, tapi lebih tepatnya karena perasaan. Kita sering mendengar, “ceweknya manis sekali”, namun kita jarang bahkan tidak pernah mendengar “pahit banget cewek tadi”. Nah, kenapa seseorang bisa menyatakan “cewek itu manis” padahal belum pernah mencicipi, bahkan belum kenal sama sekali? Meskipun di sini memakai gaya bahasa. Tapi yang jelas karena ini masalah rasa, sebab kata “manis” muncul dari hati bukan dari bibir, meskipun hanya dilihat sekilas dengan mata.

Baiklah, fine. Sebab, karena ini persoalan cantik, sudah pasti dari mata, bukan dari hati. Saya termasuk orang yang suka bergaul, atau bisa dikatakan lebih akrab dengan teman-teman perempuan. Apalagi ketika masa masih duduk di bangku perkuliahan. Mayoritas teman-teman kuliah, dari segi jumlah banyak perempuan daripada laki-laki. Dalam hal ini tentu teman-teman saya juga banyak yang perempuan, dan kami pun sangat akrab.

Ya, dimasa kuliah itu saya memang dikelilingi teman perempuan. Bahkan, dalam satu lokal semuanya sangat akrab, begitu pula dengan teman perempuan di organisasi kampus. Meskipun hubungan kami hanya sebatas teman, tapi saya sangat merasa bahagia. Sebab, bisa menemukan keluarga baru di tanah rantau yang jauh dari kampung halaman. Akrabnya hubungan kami, membuat kami sering bersama, baik makan, mengerjakan tugas, jalan-jalan. bahkan "ngerumpi" sekalipun. Hehe...

Dari sekian banyaknya teman perempuan di kampus, ada beberapa orang yang paling akrab. Persabahatan kami berawal dari pertamakali kuliah, hingga tamat kuliah, bahkan sampai mencari kerja. Anggota kami terdiri dari sekitar delapan orang. Kami tidak menamakannya genk, sebab persahabatan kami mengalir begitu saja, dan kamipun tidak pernah membatasi berteman dengan siapapun. Apalagi saat-saat melawan waktu untuk menyelesaikan skripsi, persahabatan kami pun semakin akrab saja. Semua teman perempuan saya, secara fisik cantik-cantik. Saya akui itu. Cantiknya pun alami, tanpa polesan.

Bila masih membahas masalah cantik, saya lebih suka dengan perempuan yang cantik alami. Artinya bukan cantik polesan dengan bedak sekian kilo, lipstik sekian tabung, bulu mata sekian meter, apalagi alis sekian kubik tebalnya. Alami bukan berarti tanpa make up sama sekali, tapi cantik itu bukan pula harus bertopeng make up. Maksudnya jika seseorang itu cantik, biasanya auranya selalu muncul meskipun tanpa make up. Sebaliknya cantik polesan, biasanya takut dengan hujan. Sebab, ketika gemuruh datang saja semua cantiknya bisa luntur.

Diantara sekian banyak teman perempuan, saya mempunyai seorang sahabat perempuan yang agak berbeda dari yang lain, Septriyanti namanya. Ia merupakan perampuan bersuku asli Minangkabau, namun lebih ia besar dan tumbuh di pulau Jawa. Saya mengenali sejak tahun 2008 lalu, ketika awal-awal masuk ke dunia perkuliahan di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Padang. Kebetulan kami satu jurusan, yang otomatis kami juga satu kelas. Ia hidup sebagai perempuan tomboi, dan sangat cuek, baik persoalan penampilan, bahkan pasangan. Pembawaannya sederhana, tampil apa adanya, tidak berlebihan, dan tidak suka dipuji orang. Nah, itulah yang membedakannya dari sahabat perempuanku yang lainnya, terutama tomboi. Dan aku menyebutnya "pejantan tangguh."


Alasan inilah yang membuat saya mengaguminya, selain penampilanya alami, dia juga termasuk perempuan yang pintar. Selama empat tahun bersama di bangku kuliah, saya menilainya sebagai perempuan yang tidak suka dandan seperti perempuan lainnya. Penampilannya cukup sederhana. Masalah ketaatan beragama, ia juga tergolong seperti orang pada umumnya. Tidak terlalu, tidak fanatik, dan bahkan juga kurang peduli dengan urusan agama. Ya, karena hidupnya terlalu cuek, jadi semuanya ia anggap dengan sungguh biasa. Begitu pula masalah pasangan, saya melihat dia tidak pernah “jadian” dengan siapapun.

Perjalanan hidup seperti itu ia jalani hingga mendapat kerja. Tentu saya mengetahuinya, karena sejak pertama kuliah hingga mendapat kerja, kami selalu berjuang bersama. Tapi setelah mendapat kerja masing-masing, saya mulai jarang bertemu dengan perempuan yang tomboi itu. Begitu pula ia, sangat jarang bertemu, dan bahkan komunikasi dengan saya. Renggangnya jarak ini berawal dari tahun 2012 sampai 2015 lalu, meskipun kami sama-sama tinggal di kota Padang.

Tapi dengan perjalanan waktu, kehidupannya mulai berubah. Ia kian terpedaya dengan gemerlapnya dunia. Misalnya saja, ketika pulang kerja lebih banyak untuk foya-foya, keluyuran, ke kafe, diskotik bersama teman atau reka kerjanya, serta dandan serba gemerlap, apalagi setelah gajian. Ya, karena dia pegawai tetap di sebuah bank swasta di kota Padang. Tapi dengan perjalanan waktu, ia merasa ada sesuatu yang salah dengan jalan hidupnya. Kemudian, ia memilih berhenti bekerja, dan lebih fokus untuk berbenah diri menuju ridha illahi.

Semua ini saya ketahui ketika ia sendiri yang menceritakan tentang lika-liku hidupnya pada pertemuan pertama setelah sekian tahun tidak menampakkan muka. Tepatnya pada bulan Ramadhan 2016, kami bertemu dalam rangka merancang kegiatan peduli anak yatim, setelah berkomunikasi di media sosial. Nah, pada pertemuan inilah saya merasa kaget, sekaligus juga bangga memiliki seorang sahabat sepertinya. Sebab, ia kini sudah mampu menjadi seorang yang “benar-benar perempuan”. Penampilannya bukan lagi seperti yang biasa saya lihat beberapa tahun lalu sebagai “pejantan tangguh” itu.

Saya melihat penampilannya mulai feminim, ia sudah memakai rok yang panjang, dan juga panjang, begitu pula dengan jilbabnya yang sudah mulai tertutup. Ia juga terlihat lebih anggun, dan mulai berani dandan, meskipun dandan yang biasa, sehingga masih terlihat kecantikan yang alami. Sebab, tanpa dandan yang berlebihan pun ia sebenarnya juga sudah memiliki aroma cantik. Tubuh yang berisi, tinggi, putih, dan wajahnya pun termasuk perempuan ranum, dan mekar.

Begitulah ia, sahabat lamaku si “pejantan tangguh” itu. Kini ia sudah kembali dengan sosok wanita yang memiliki naluri keibuan. Namun bukan itu yang membuatku lebih tertarik menulis tentangnya. Menurutku, ada satu alasan kecantikan yang pada dirinya kian menumbuh. Alasan itu ialah ia semakin dekat dengan Sang Penguasa Alam, pada Tuhan Semesta Alam, Sang Pemberi Kecantikan yang sesungguhnya. Kini, ia semakin tekun menjalani kewajibannya sebagai seorang perempuan muslim. Ya, terutama sekali ibadah shalat tidak lagi ia asingkan dalam hidupnya.

Perubahan yang sungguh luar biasa. Di usia yang menginjak 27 tahun untuk menuju 30 tahun ini, tahap demi tahap penampilannya berubah bersama waktu. Ia perempuan yang berani untuk memilih resign dari pekerjaannya sebelumnya. Banyak alasan dia harus keluar dari pekerjaan, terutama ia sudah menyadari resiko, sekaligus pertanggungjawaban bekerja di bank. Sehingga kini ia lebih memilih untuk berjualan kue dan gorengan, serta fokus dengan pekerjaan rumahan, sebagai bekal memulai sebagai ibu rumah tangga nantinya.

Sambil menunggu pangeran berkuda putih sebagai imamnya, seperti yang pernah ia cita-citakan dulu. Ia selalu berbenah diri, akun media sosialnya tidak ada lagi bahasa wanita “kehausan”, tapi lambat-laun mulai berganti dengan bahasa yang menyejukkan. Tidak hanya itu, kini ia lebih bercita-cita untuk bisa berbagi meskipun hidup pas-pasan. Mendirikan bimbel untuk mengajar anak yatim, dan dhuafa yang kurang mampu secara gratis, adalah cita-cita luhurnya. Tersebab ada kendala dari segi finansial, cita-citanya itu belum bisa diwujudkan.

Ah, begitulah sahabatku yang hijrah dari masa lalu, mengetuk pintu Tuhannya. Kini ia tampak lebih tangguh dengan segala prinsip yang ia yakini. Memang banyak temannya yang menentang, bahkan kerap kali menerima cemoohan, ejekan, serta sindiran yang pedas dari temannya, terutama rekan kerjanya dulu. “Alaaah... Jangan sok suci seperti ustadzah lu.” Namun kalimat seperti itu justru ia jadikan sebagai peluru motivasi dalam menjalani hidup ke arah yang lebih baik.

Sungguh ini pelajaran yang luar biasa yang saya temukan dalam hidup seorang sahabat. Saya menilai, perempuan yang lebih dekat dengan Tuhannya, terlihat lebih cantik dari biasanya. Sebab, aura kecantikannya terpancar dari dalam, bukan hanya dari polesan. Ya, ibarat lagu Roma Irama, setiap keindahan yang ada di dunia ini, hanya perempuan sholeha ialah perhiasannya dunia. Maka, begitu pulalah sahabatku “pejantan tangguh” yang dulu kini semakin menampakkan kecantikannya dengan sungguh-sungguh. Hanya segala doa kukirimkan, semoga cita-citanya selalu diperkenan Tuhan. Amiin!

____________________________________________________________________________________________
Lomba blog ini diselenggarakan oleh BP Network dan disponsori oleh L’Oreal Revitalift Dermalift.”

0 Comments