Hadiah Untuk Ibu



Siang itu, ada acara lomba Balap Mobil Mainan di sebuah desa. Acaranya sungguh istimewa, penonton membeludak, sungguh banyak memenuhi lokasi lomba. Suasana meriah dan ramai sekali, karena memang, karena waktu itu merupakan babak finalnya. Hanya ada empat peserta yang bisa menuju ke babak final. Semua peserta memamerkan mobilnya masing-masing. Semuanya mobil buatan sendiri, karena begitulah peraturannya.
Seorang anak bernama Guntur termasuk peserta babak final. Guntur memperlihatkan mobilnya yang begitu tidak istimewa. Sebuah mobil yang sangat jauh berbeda dengan mobil peserta lainnya. Nampak betul bahwa diantara peserta, mobil Gunturlah yang terlihat tidak sempurna. Sungguh sebuah mobil yang tidak menarik di mata semua orang.
Semua penonton merasa ragu melihat penampilan mobilnya, karena mobilnya hanya terbuat dari kayu seadanya. Hanya ada pintu, sebuah lampu, dan Bendera Merah Putih yang kecil di atasnya. Benar-benar tidak sebanding dengan mobil peserta lainnya, yang megah, mewah, dan berhiaskan warna yang menarik. Namun Guntur bangga karena mobil itu buatan tangannya sendiri. Maklumlah, Guntur hanya memiliki Ibu, sedangkan Ayahnya sudah meninggal setahun yang lalu.
Di lokasi, nampaknya penonton mulai tidak sabar melihat apa yang bakal terjadi. Menantikan perlombaan yang sangat seru. Suasana terlihat sedikit tegang, harap-harap cemas dengan mobil jagoannya masing-masing. Sebagian ada yang mengibarkan bendera jagoannya masing-masing, ada juga bersorak-sorak dengan yel-yel, nyanyian, dan memamerkan nama-nama jagoannya.
Peserta nampaknya sudah mulai ancang-ancang mengambil posisi masing-masing. Mereka sudah siap mendorong mobil balapannya sekuat mungkin, agar mobilnya bisa melaju jauh dengan cepat. Semua berharap bisa menjadi peserta yang terbaik, meraih kemenangan. Mereka tahu betul, bahwa lawan-lawan mereka sangat tangguh dan tidak bisa diremehkan.
Pada waktu yang telah ditentukan, empat peserta babak final itu sudah di garis Stars, siap-siap mendengar aba-apa dari panitia. Sebelum aba-aba mulai dibunyikan, tiba-tiba Guntur meminta waktu sebentar kepada panitia. Guntur terlihat komat-kamit, sedangkan kedua tangannya mengatup. Nampaknya Guntur sedang berdoa, matanya terpejam. Setelah satu menit kemudian, kedua tangannya diusapkan pada wajahnya.
“Ya, sekarang aku telah siap,” katanya dengan tegap.
Mendengar kata siap dari Guntur, panitia mulai memberi aba-aba bahwa lomba akan dimulai. Seraya mengibarkan bendera dan tiupan kuat dari peluit di mulutnya. Semua peserta berusaha keras mendorong mobilnya sekuat mungkin. Seakan-akan semua tenaga mereka hari itu dikeluarkan. Semua peserta ingin jadi pemenang.
“Ayo-ayo..., cepat....” teriak penonton memberi semangat pada jagoannya.
Semua bersorak-sorai. Suasana semakin riuh, keadaan berubah menjadi sangat ramai. Semua penonton memberi semangat agar jagoannya menjadi pemenang.
“Ayo..., kalahkan dia, cepat-cepat, kau harus jadi pemenang,”sorak mereka yang berada di sudut kanan kencangnya.
“Kamu pasti bisa, kalahkan mereka, ayo semangat...,” balas mereka yang di sudut kiri.
Semua penonton nampaknya tidak mau kalah, jagoan mereka harus jadi pemenang. Mereka tidak henti-hentinya memberi semangat, teriakan menjadi-jadi sambil mengibarkan bendera. Gendang ditabuhkan, terompet pun dibunyikan, semuanya sebagai tanda kemeriahan acara hari itu. Semakin dekat peserta di garis finis, suara teriakan semakin kencang.
“Ayo cepat, sedikit lagi,” seru mereka dengan penuh semangat.
Semua tercengang, hening, kaku, semuanya merasa cemas. Sungguh detik-detik yang menegangkan. Kemudian ketegangan itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira dari penonton.
Akhirnya, Guntur menjadi pemenang. Ada juga yang tidak percaya hal itu bisa terjadi, Guntur sendiri pun tidak percaya dia akan menjadi pemenang, tetapi itulah kenyataannya. Si pemilik mobil jeleklah yang menjadi Sang Juara pada hari itu. Semuanya merasa gembira, begitu juga dengan Guntur, dia tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur.
“Terima kasih Tuhanku, Engkaulah yang menentukan segalanya,” ucapnya sambil mengusap kedua tangan pada wajahnya.
Ketika penyerahan Piala akan dilakukan, Guntur dipersilahkan naik ke atas pentas. Ketua Panitia menghampiri anak yang bernama Guntur tersebut sambil bertanya.
“Hai jagoan, tadi sebelum lomba dimulai, kamu pasti berdoa agar kamu bisa menang ya?” kata Ketua Panitia tersebut sambil tersenyum.
“Tdak Pak. Rasanya tidak adil jika meminta kepada Tuhan untuk menolong saya mengalahkan orang lain. Tadi saya hanya memohon kepada Tuhan, apabila saya kalah nanti saya tidak menangis.” Jawabnya dengan mata berbinar-binar.
Semua penonton terdiam mendengarnya, terharu dan terkagum-kagum. Akhirnya Ketua Panitia menyerahkan Piala, mengalungkan medali, serta memberi sejumlah uang tunai kepada Guntur. Guntur menerimanya dengan senang hati, bersalaman dan mengucapkan terima kasih kepada Ketua Panitia, serta kepada penonton yang telah mendukungnya. Guntur meminta waktu kepada Ketua Panitia untuk menyampaikan sesuatu melalui micropon.
“Tidak banyak yang saya sampaikan. Semua hadiah ini akan kupersembahkan untuk Ibuku yang tercinta. Terima kasih do’anya Ibu, terima kasih penonton semuanya.” Guntur mengakhiri ucapannya dan melambaikan tangan.
Semua penonton bersorak dan bertepuk tangan. Ada yang memeluk Guntur, ada juga yang hanya bersalaman mengucapkan kata selamat. Guntur benar-benar menjadi Sang Juara waktu itu, dia mendapat banyak pujian, tetapi dia selalu bersikap rendah hati. Di sela-sela suasana gembira itu, Ketua Panitia juga berpesan kepada Guntur agar bisa mempertahankan prestasinya.  
“Sampai di sini dulu acara kita, semoga acara tahun depan lebih meriah lagi. Saya harap tahun depan pesertanya lebih banyak. Jangan takut untuk mencoba sesuatu yang tidak pernah kita lakukan untuk jadi pemenang. Harus berani mencoba dan berjuang, contohlah seperti usaha yang dilakukan Guntur tadi, ” jelas Ketua Panitia.
Banyak pesan yang disampaikan oleh Ketua Panitia waktu itu, bahwa kita sebagai manusia tidak boleh berpikiran lemah, dan cengeng dalam menjalani hidup ini. Semua manusia mempunyai kekuatan tersendiri, meskipun banyak rintangan. Rintangan itu, kadang-kadang sering dijadikan Tuhan untuk menguji hamba-Nya yang shaleh.
Penonton akhirnya semakin paham nasehat-nasehat itu. Semuanya bersorak dengan gembira. Dan akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Guntur pun menyerahkan semua hadiahnya kepada Ibunya.
“Terima kasih do’anya Ibu, aku sayang Ibu,” ucapnya sambil mencium kedua tangan Ibunya. Ibunya tersenyum gembira sambil mengusap kepala Guntur dengan penuh kasih sayang.

Karya: Wahyu Saputra
Cerita Anak ini pernah dimuat di Media Harian Singgalang, 14 April 2013

0 Comments