Cerita Dalam Hujan


Malam itu, baru saja sesuap nasi yang kumasukkan dalam mulut, bunyi Talempong berdering memperanjatkanku. Memang musik Talempong itu kutetapkan sebagai nada pesan Selulerku. Aku berusaha meraihnya yang tergeletak di lantai samping dudukku.
“Hei, telepon dong. Bosan!”, sebuah pesan singkat yang sangat kukenal orangnya. Dia orang paling dekat, akhir-akhir ini selalu lengket menemani hari-hariku. Tanpa ba,bi,bu lagi langsung aku pencet tombol menuju nomor yang sudah kukenal itu.
“Maaf, pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan, harap isi ulang.” Sebuah suara protes operator itu membuatku kesal. Nampaknya operator itu tahu betul rupa kondisi pulsa di Selulerku, tanpa segan dia menyuruh mengisi pulsa pula.
“Hah, pantang! Tadi pagi baru diisi sekarang minta diisi lagi, boros” desahku.
Aku langsung beranjak menuruni anak tangga. Maklum saja, kamar kosku di lantai dua. Sebab kamar di
bawah terlalu berat biayanya untuk anak kost sepertiku ini. Gerimis sisa hujan waktu shalat Magrib malam itu aku lewati.
“Pulsa sepuluh ribu Bang,” kataku pada tukang Counter. Hanya anggukkan yang aku dapati. Entah ada apa, tukang Counter itu pendiam kini. Biasanya ketika aku menghampiri Counternya selalu ada senyum dan tanya yang terlontar dari mulutnya. Tapi kini tidak. Aku tidak terlalu banyak memikirkannya, dan langsung pulang tanpa berkata-kata.
“Hallo, maaf agak lama”, sapaku.
“Ya, nggak apa-apa. Oh ya, emang tadi ngapain?” balasnya datar.
“Pulsa habis, sekarang baru pulang dari Counter,” jawabku lagi.
“Oooo....”, begitu bulat kudengar di ujung sana.

“Yo Mande..., antah jo apo ka denai baleh
Kami barampek kami mandeh gadangkan
Jo saba hati mande adokkan
 Bareh sagantang yo mandeh batanakkan
upah manuai manumbuk padi urang
.......................................................
Pambangkiak lukah salamoko nan tabanam
......................................................
Janjang patah pintulah rubuah, den himbau mandeh indak babunyi.”

Putus-putus kudengar lagu minang Ratu Sikumbang itu dilantunkan dari seberang. Menghembus, menderu relung angin malam. Menelusuri gelombang pita suara sampai ke gendang telingaku. Aku diam saja mendengar alunan nada itu. Lagu itu mengingatkanku pada kampung, Abah dan Amak di seberang rantau. Di ujung pesisir.
Ya, aku tahu. Dia suka sekali menyanyikannya, apalagi lagu-lagu minang yang menusuk relung hati. Lagu ratapan, ngilu rasanya. Sedangkan aku hanya penikmat sejati, seakan tidak pernah bosan mendengarnya. Aku juga tahu, meskipun suaranya tidak semerdu suara Sulis penyanyi lagu islami, namun aku tetap terhibur dibuatnya. Entah apa sebabnya. Bingung.
Uda... japuiklah denai gunggunglah tabang
Bukannyo anggan denai menggunggung adiak
Dek badan indak badayo, bak cando ijuak indak basaga

Uda...tabuihlah janji jo mimpi-mimpi
U...sah turuikkan cinto di dalam hati
Bamain api adiak tabaka, bamain aie badan ko basah
................................................................

Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja jawabannya keluar dari mulutku. Tanpa dipaksa-paksa semuanya terlontar begitu saja. Aku juga tambah tak mengerti. Mungkin karena lagu itu juga termasuk dalam daftar kesukaanku. Terasa ibarat benar-benar sedang bernyanyi dalam duet yang sesungguhnya. Bagai berdiri di rerumputan taman luas, saling menjawab tanya di atas beranda rumah gadang, yang disaksikan beberapa kumbang yang mencari madu diantara bunga. Lama kami mengulang-ulang lagu itu tanpa lelah, tanpa bosan.
 “Oh ya, besok jadikan kita ke Job Fair?” suaranya menghentikan dangdutku. Ya, Dia seringkali mengatakan setiap aku bernyanyi selalu bernada dangdut, padahal menurutku tidak.
Mantapku jawab “Jadilah”. Kemudian melanjutkan bernyanyi lagi. Terdengar hujan pun semakin deras seperti derasnya perbincangan kami malam itu. Dentuman titik hujan semakin kencang keras menghujan bumi seakan tidak mau kalah dengan suara yang kami keluarkan.
Akhirnya cerita mengalun begitu saja, seperti alunan gerimis hujan yang mulai reda. Perdebatan, mungkin itu sebagai bumbunya malam biar tetap seperti siang, hidup. Kritikan pun tak khayal juga datang padaku. Dia tiba-tiba dilepaskan dari busur mulut yang selama ini menghiburku dengan lagu, tawa, bahagia. “Berarti dia peduli denganku,” bisikku dalam hati.
Aku senang mengenalnya. Baik, cantik, juga keras tapi lembut. Dia sosok wanita yang tegar. Banyak pengetahuan hidup yang dapat aku cerna dari tuturannya yang tidak aku punya. Dia jauh lebih dari teman-teman wanita yang pernah aku kenal. Di hadapannya, terasa betul banyak kelemahanku sebagai lelaki dalam menjalani hidup selama ini. Tak jarang aku harus memutar seribu kali otak dan hati merenungkannya. “Kau wanita hebat” gumam hatiku tanpa menjauhkan ganggang seluler mendengar ocehannya. Sampai menguap, lelap bersama mimpi.
***
Lalok sakali....” sebuah pesan kubaca. “Astaga...ternyata tadi malam aku terlelap”, kataku pada diriku sendiri. Kusibak jendela kos, kulihat di atas ujung atap hitam dan kelam. Pagi yang berlangit mendung, tapi tidak di hatiku. Tapi bagaimana....
“Sudah siap?” pesan darinya memutuskan pembicaraan batinku pagi itu.
“Udah, kamu? Nunggu dimana?” aku layangkan sebuah balasan. Bergegas aku mandi, menyisir rambut, dan mengoles sisa-sisa parfum kesukaanku. Aku tarik tas, kukunci pintu. Kubuka lagi, “dasar helm nggak bilang-bilang kalau ditinggalin,” gerutu hatiku.
Jawaban darinya belum juga aku terima. Kulihat di layar seluler, pesan tertunda“Hah..sialan”, sambil kukirim ulang pesan itu. Beberapa saat aku tinggalkan kos-an, terasa ada sesuatu yang bergetar di celanaku. Aku raba-raba celana itu, tidak dapat, aku berhenti. Sebuah pesan, “Aku sudah siap, aku tunggu di tempat biasa aja ya”.
Bagai ada yang membisikkan sesuatu, terhipnotis, gas motor buatan Jepang kupelintir dengan kencang. Suasana masih pagi, hanya beberapa orang saja yang terlihat berlalu-lalang. Ada juga beberapa mobil, motor, yang menurutku banyak yang menuju ke tempat yang sama. Tidak kupikirkan itu, bayanganku aku harus sampai dengan cepat. Ya, terasa sangat mudah bagiku menerobos, memacu, mengejar garis-garis putih di tengah jalan.
Aku melihat sebuah senyum sumringah mengambang dari kejauhan. Senyum kecil, namun bisa menggoncangkan jantung, magnetnya berdampak besar mendebarkan dadaku. Semakin dekat, senyum itu semakin indah. Aku yakin banyak yang tertegun memandangnya, itu dapat kulihat dari ekor mataku pada wajah di jalan itu.
“Udah lama,” tanyaku.
“Nggak juga,” jawabnya sambil menjangkau helm di tanganku. “Ayo,” lanjutnya sambil tangannya memukul kecil di bahuku dan bergantung di sana. Roda motorku seakan-akan mengerti tujuan, dia berputar mengikuti jari-jarinya, sesuai komando tanganku pada gas. Ya, menuju acara mencari kerja, mencari uang.
Suasana yang asyik, karena hari mendung. Di perjalanan banyak tanya disambut jawab yang terlontarkan. Sesuai suasana hati yang cerah, secerah senyumnya yang terlihat dari kaca sapion, yang sesekali aku melirik ke arahnya. Andai kata, aspal bisa berbicara, meskipun sakit tergilas roda-roda jalanan, pasti ikut senang waktu itu.
Suasana masih terlihat sepi, belum banyak yang datang. Hanya panitia yang terlihat sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tempat pengambilan tiket, dan ada beberapa orang yang membagikan formulir juga. Beberapa pasang mata memandang ke arah kami. Aku risih sekaligus bangga. Tahulah, aku mungkin tidak pantas membawa wanita seperti Dia. Entahlah, aku memang jauh dari kata tampan, sedangkan Dia meskipun berbalut dari produk biasa, tetap mempesona. Iya, Dia mampu menghipnotis hati orang, dan aku juga orang itu.
Hufss... tidak ada hasil hari itu, selain tiga lembar tiket. Kesalahan fatalku, ternyata aku diberikan Tuhan sifat lupa, sehingga berkasku semuanya terbaring di atas komputer kamar kos. Mungkin Dia kesal, namun tetap mengumbar senyum padaku. “Tidak apa-apa, kita ulangi besok.” Hiburnya.
***
Malam itu seperti malam-malam biasa. Malam yang mengingatkan kesalahanku siang itu. Kenapa sampai lupa, kenapa harus..., pertanyaan kuajukan dan harus dijawab sendiri olehku malam itu. Pesan di seluler sesekali datang menghiburku, pesan dari Dia di ujung sana. Hingga membawa jiwa terlelap panjang. Begitu juga ketika malam direnggut sinar mentari pagi. Rutinitas mulai memanggil untuk dijamahkan setiap jengkal putaran waktu, tanpa lelah.
Aku dan dia langsung mengendara waktu, menuju tempat memutar hidup, pelabuhan rutinitas berikutnya, dunia kerja. Nasib memang tidak selalu beruntung, semua tawaran tidak sesuai dengan yang ingin ditawar. Hanya satu dua saja tawaran yang mungkin bisa menarik hatiku. Itupun belum pasti bakal diterima, “pokoknya dicoba aja dulu”, bisiknya di telingaku.
Entah apa rencana Tuhan siang itu. Suasana mulai kelam. Langit menangis sejadi-jadinya, bagai seseorang yang kehilangan pujaan hati. Gelegar gemuruh menambah nuansa seram. Bumi terasa tidak sanggup lagi menahan butiran hujan yang dijatuhkan. Sungguh Tuhan Maha Tahu, sehingga tidak ada yang tahu maksudnya hari itu.
Mau tidak mau, suasana itu juga memaksa kami untuk melawan arus hujan, bersuara keras agar pembicaraan jelas. Aku dan Dia duduk berdekatan, bercerita, bersendagurau, memantapkan rencana ke depan. Berharap kepada Tuhan semoga dimudahkan dapat kerja untuk meraih sukses. Dia menceritakan adik-adiknya bakal melanjutkan pendidikan, karena Dia tahu adik-adiknya punya kemauan juga kemampuan. Sampai jauh alur ceritanya, tentang ibunya di kampung, ayahnya yang berdagang di rantau orang. Aku hanya jadi pendengar setia, sesekali memberi penguatan dengan meng-Amin-kannya, semoga do’anya dikabulkan.
Angin kembali berhembus menusuk tulang-belulang, mengikuti irama deru hujan. Hawa dingin begitu sangat terasa. Tetes demi tetes air menjatuhkan dirinya ke bumi, hingga hanya tersisa bernama gerimis.
“Kita cabut aja yuk?” suara di sampingku melawan sisa hujan itu.
“Gerimis, emangnya nggak apa-apa?” sambutku. Dia hanya menggeleng lembut pasti. Aku mengiyakan saja tanda setuju yang diberikannya. Berdua kami melewati gerimis dengan berani, menjauh dari beberapa pasang mata di sekitarnya. Aku diam saja, fokus memandang di sela-sela tetesan hujan yang mulai menyerang lagi. Dia di belakangku mulai gelisah.
“Terawangan, aiiisssh....malu,” katanya sambil tertawa di telingaku.
“Apanya terawangan?” tanyaku datar sambil menoleh ke belakang. Akhirnya aku mengerti yang dimaksudkannya. Aku kasihan. Aku menawarkan jasa untuk memakai jaket, mengulurkan jaket hitamku. Dia menolaknya, mungkin Dia tahu aku lebih membutuhkannya, sebaliknya aku tahu kalau Dia juga lebih membutuhkannya.
Hujan terasa menghantam begitu kencangnya, angin terasa menembus ke seluruh persendian dan aliran darah.
“Kita cari mantel untuk kamu ya?” aku menawarkan lagi. Jawabannya tetap masih kata yang sama. Tawaranku ditolak kembali. Aku diam. Dalam hatiku selalu mencari dan bertanya untuk menolongnya dari hantaman hujan dan mata telanjang yang memandangnya. Aku tak rela. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar jawabannya. Menolak dengan keras kepala. Aku tidak bisa memaksa.
“Aku lapar, kamu?” katanya.
“Sama.” Jawabku sekenanya. Dalam keadaan basah, kami berdua menuju ke tempat makan yang sungguh sederhana. Tempat makan yang hanya dinaungi oleh terpal. Meja-meja dan kursinya basah. Terlihat pelayan membersihkannya ketika melihat kami memesan menunya. Pecel Ayam dua, tempe dan tahu empat, dan segelas teh panas. Kesederhanaan terasa begitu nikmat, suasana dingin dihidang dengan makanan yang hangat. Kulihat Dia yang berada di depanku, wajah putihnya mulai pucat, pasti karena kedinginan.
Setelah siap, sekitar jam 08.00 kami meninggalkan tempat makan yang sederhana itu. Ah, baru keluar dari tempat itu saja, banjir sudah menghadang, depan belakang sama saja dalamnya.  Akhirnya aku memutuskan memilih jalur kana. Astaga..., ternyata jalur pilihanku banjirnya lebih gawat lagi. Lanjut, tanggung katanya.
Mmmbiurrrr...., sebuah mobil dengan kencangnya berselisihan dengan kami. “Kurang hajar,” pekikku serta-merta. Gelombang yang diciptakan mobil itu membenam motorku, mati seketika. Semua pakaian kami sudah basah semua. Aku begitu geram pada pengendara mobil,”mentang-mentang bawa mobil,” keluhku kesal. Kulihat Dia di belakangku dari tadi hanya tertawa, seakan-akan sangat menikmati suasana itu. Hah...Dia juga sangat menikmatinya, tertawa renyah ketika aku mendorong motor ke tempat yang lebih aman.
Belum berapa jauh kawasan banjir itu kami tinggalkan, masalah baru datang lagi, macet total beberapa kilo meter. Kulihat keadaan hanya disesaki oleh ratusan kendaraan. Hujan masih tersisa gerimisnya. Kulirik Dia, biasa. Aku ikuti permainan hujan hari itu, biar basah menyusahkan, biar dingin menyelimuti, malam terasa tegang, batinku berkata “nikmati saja”, begitu juga Dia dengan tenangnya.
Perjalanan pulang itu, aku nikmati dengan suasana berbeda. Tidak ada lagi perasaan lelah di dadaku. Gerimis malam terasa begitu indah menyentuh tubuhku yang basah. Dingin begitu lembut mengalun di relung raga. “Indahnya kebersamaan ini, menikmati suka, duka, dan senyuman. Bersama Dia, ya..hanya Dia,” gumamku ketika tiba di halaman rumahnya. Lalu cabut ke kosku.
Seluluerku bergetar. “Hahahahaaa..., lucu betul ya kisah kita hari ini, menyenangkan,” kubaca sebuah pesan dari Dia malam itu.
“Ya, lucu sampai mendorong segala,” kukirim pesan balasan. “Rasanya aku ingin mengulanginya lagi, berulang kali, hanya kita...hanya bersamamu, ya..hanya dengan kamu saja. Aku akan selalu memimpikan itu,” bisikku dalam hati. Mimpi.... Ya mimpi membawaku malam itu tanpa jawaban. Terus...menunggu jawaban tentang hujan esok hari. Hujan terus bernyanyi dengan tetesannya tentang kita. Mungkinkah terulang.

 Salam spesial untuk sepotong hati
Karya: Wahyu Saputra
Cerpen ini pernah dimuat di Media Harian Singgalang, 24 Februari 2013


0 Comments