Mahasiswa, Saling Ejek Demi Kekuasaan


Seminggu yang lalu, aku kembali ke Padang, setelah beberapa bulan mengikuti pelatihan kependidikan di kota wisata Bukittinggi. Rasanya sungguh rindu duduk kembali di bangku kuliah, menatap wajah papan tulis. Bergelut dengan tugas serta membolak-balik buku. Menghabiskan waktu di sekre organisasi mahasiswa (Ormawa), siang dan malam. Mungkin itu hanya fantasiku saja, karena sekarang aku sudah di penghujung pada dunia kampus.
Sesampainya di kota Padang, esok hari aku sibuk untuk menyerahkan Tugas Akhir (TA) pelatihan kependidikan ke dosen pembimbing. Sambil bercerita dengan teman-teman di depan jurusan, aku sempat menanyakan kabar Ormawa. Teman-teman itu menjawab, kacau, caliaklah dinding sekre tu kini.
Kata-katanya sangat membuat aku penasaran, namun tidak langsung aku melihat kondisi sekre karena TA-nya belum diserahkan.
Pada hari berikutnya, aku pergi makan ke Cafe sekitar kampus bersama teman-teman. Tidak sengaja, aku dan beberapa teman-teman melintas di depan sekre Ormawa. Astaga, kata-kata yang ada di dinding sekre itu sungguh mengejutkanku. Ternyata apa yang diceritakan oleh temanku pada hari sebelumnya memang benar. Sekilas terlihat ada rasa kecewa dan ketidakpuasan suatu kelompok pada kelompok lain. Lama aku melihatnya, sebelum melangkah pergi langsung aku abadikan moment tersebut dengan kamera.
Coretan-coretan di dinding itu menimbulkan beberapa pertanyaan di kepalaku. Mengapa harus terjadi demikian? Bukankah mahasiswa mendapat gelar Agent Of Change, apakah ini yang namanya sebuah perubahan yang lebih baik? Bukankah mahasiswa Sosial Control, apakah orang-orang seperti ini yang bakal bisa mengontrol? Padahal mengendalikan emosinya sendiri saja belum mampu. Apakah ini mahasiswa yang diharapkan sebagai Iron Stock?, yang diharapkan sebagai penerus masa depan bangsa, namun menjadi robot-robot pemusnah. Apakah itu sebagai contoh mahasiswa Guardian of Value? Diharapkan sebagai cikal-bakal insan terdidik yang bisa menjaga nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, tetapi berpikiran pendek.
Sedih rasanya ketika menyaksikan kondisi kampus yang aku banggakan itu. Namun apa yang harus diperbuat, hanya helaan nafas yang kutarik dalam-dalam. Ormawa tempat kubernaung selama ini tidak lagi berfungsi semestinya. Harapan demi harapan agar bisa menjadi lebih baik, kini sudah kacau-balau. Mahasiswa yang ditinggikan selangkah, yang dipercaya untuk menyuarakan suara mahasiswa lainnya, kini tidak lagi menjadi panutan. Mahasiswa yang aktif sebagai tempat bertanya bagi sesama, kini penuh celaan.
Perkara ini mulai terjadi ketika penentuan bakal calon (Balon) ketua eksekutif mahasiswa. Kini semua itu sampai terbawa ke masalah ketua legislatif mahasiswa. Banyak kelompok yang berperan dalam kejadian ini. Ada kelompok yang selalu ingin berperan dan menggenggam posisi di Ormawa. Ada kelompok yang “hanya” ingin menjatuhkan atau merebut kekuasaan, tetapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Setelah semuanya diraih mereka tidak mau dan takut seandainya kinerjanya selalu diawasi. Aku tidak tahu seratus persen masalah ini, namun sedikit jalan ceritanya tahu, karena sebelumnya aku juga bagian dari anggota Ormawa.
Nampaknya kesatuan antar mahasiswa, khususnya Ormawa semakin renggang saja. Permainan dan persaingan politik terjadi dimana-mana, sehingga antar Ormawa saling cela-mencela. Pendukung dan pemimpin saling mencari celah-celah untuk menjatuhkan posisi kelompok lainnya. Memalukan, mengerikan, menakutkan. Jika penerusnya terus berperilaku seperti ini, kapan bangsa ini bisa menjadi lebih baik? Sungguh mengkawatirkan, tidak heran jika keadaan bangsa selalu seperti ini. Bayangkan jika bangsa ini pucuknya dikendalikan oleh manusia-manusia yang tidak terdidik. Kebanyakan hanya mengikuti ego, meraih kedudukan atau posisi yang lebih baik, tanpa memperhatikan baik-buruknya yang dikerjakan. Hancurlah sudah. Aneh, bukannya status sebagai mahasiswa ilmu pengetahuan yang diperebutkan, tetapi jabatan yang “dipertegangkan”, padahal belum pantas menjadi pejabat.
Memang tidak ada larangan mahasiswa untuk berpolitik, bahkan sah-sah saja mahasiswa menggeluti dunia politik. Selain itu, juga boleh-boleh mahasiswa menunjukkan eksistensinya di Ormawa. Itu artinya mahasiswa tersebut peduli dan berupaya mau berbagi ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Namun dibalik semua itu, harusnya dilakukan secara bijak dan sehat. Bukan dilakukan dengan kekerasan dan melampiaskan nafsu pada sarana yang ada. Seharusnya kepercayaan yang telah diamanahkan oleh mahasiswa lainnya dipupuk dengan kegiatan yang positif, bukan membuat keonaran dengan saling mencela.
Tunjukilah dan buktikan kata-kata yang pernah diumbarkan kepada mahasiswa lainnya, bahwa kita benar-benar bisa menjadi lebih baik. Ingat, dulu masa-masa ketika sebelum terpilih. Renungkan juga kata-kata ajaran yang pernah terucapkan ke telinga junior-junior kita. “Adik-adik mahasiswa baru (Maba), ingat kita satu jurusan, kita satu fakultas, kita satu universitas, harus bersatu demi bangsa, bukan demi kelompok atau individu”. Malu sebagai kaum intelektual, seandainya kata-kata yang diucapkan itu kita sendiri yang menghapus maknanya.
Selain itu, jika ada permasalahan yang terlalu rumit, harus dimusyawarahkan dengan baik sesama Ormawa yang ada. Kapan perlu bicarakan secara seksama dengan pihak dosen, fakultas maupun universitas. Di sanalah kita seorang mahasiswa diuji kedewasaannya. Buktikan bahwa kita bisa bersikap sebagai manusia yang terdidik dan bijaksana dalam mengambil langkah, pilihan, dan menentukan keputusan. Bukan bersikap bodoh, beradu argumen tanpa ada keputusan yang jelas. Setelah ada kebijakan dan mendapatkan keputusan, terimalah dengan lapang dada, karena itu merupakan keputusan bersama. Bukan demi kelompok atau individu.
Namun sangat disayangkan lagi, nampaknya belum ada tindakan apa-apa dari pihak dosen, fakultas atau universitas. Mungkin saja sudah ada tindakan, tetapi aku yang tidak tahu? Mustahil rasanya kalau pihak dosen tidak tahu permasalahan ini. Padahal setiap hari perkuliahan, para dosen sering berlalu-lalang di depan sekre Ormawa tersebut. Seharusnya di sinilah para dosen berperan penting sebagai penengah, baik dari pihak jurusan, fakultas, apalagi bagian dari kemahasiswaan. Adanya penengah dari dosen tadi, diharapkan akan membawa pencerahan dan titik temu serta jawaban dari semua permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Harapannya semoga hubungan antar mahasiswa, apalagi mahasiswa yang berperan aktif di Ormawa bisa langgeng dan kompak kembali untuk menuju puncak yang lebih baik dengan penuh kebersamaan.

Wahyu Saputra
Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNP.

0 Comments