Sehari Berwisata Budaya Minang


Setelah berhari-hari menghabiskan waktu dengan aktifitas kampus, akhirnya pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang (UNP), menyempatkan diri mencari suasana baru. Tentunya suasana itu tidak hanya mengisi liburan belaka, namun juga untuk mengenal budaya ranah minang yang terbentang ini. Tepatnya, Minggu (18/12) lalu, dalam rangka mengunjungi wisata budaya di Ranah Minang.
Waktu itu rombongan yang bisa pergi hanya berjumlah sembilan orang dari 35 orang jumlah pengurus BEM. Masih kuingat, keadaan di dalam mobil begitu sempit, karena telah melebihi kuota mobil yang seharusnya delapan orang. Itulah sensasinya, semangat hati semakin mengumbar ketika mulai melihat bentangan alam nan indah dari puncak kawasan Rumah Puisi Taufik Ismail (RPTI), di Aie Angek, yang tidak jauh dari Kota Padang Panjang. Rumah sang pencipta puisi Sajadah Panjang ini diapit oleh dua gunung, Singgalang dan Merapi.
Awan-awan yang mengalun disekitar gunung masih terlihat bersih. Hembusan angin dari gunung Singgalang menyibak rambut, tergerai ke arah gunung Merapi terasa sejuk. Sayangnya, karena kami datangnya terlalu pagi, sehingga rumah yang menyimpan segudang karya tersebut masih tertutup. Jadi kami hanya menyempatkan diri mencari posisi memotret sebagai cerita kenangan ketika sampai di Kota Padang.
Hanya sekitar setengah jam disana, kami terus melanjutkan ke arah Puncak Lawang yang terletak di Kabupaten Agam. Di Puncak Lawang ini kami pun nampaknya juga kurang beruntung, yang seharusnya bisa menyaksikan keindahan Danau Maninjau, karena cuaca kurang mendukung, sehingga kawasan Danau Maninjau hanya terlihat gempulan kabut. Jadi kami nikmati keindahan panorama itu sejenak dengan gurauan saja.
Kemudian kami meninggalkan puncak tersebut menuju Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang Maninjau, tepatnya di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Sebelum sampai ketujuan, kami dilayani sensasi tikungan tajam, yang terkenal dengan sebutan Kelok Ampek-Ampek sambil menikmati indahnya Danau Maninjau, dengan keramba-keramba ikan yang berjejer ditepian danau. Ketika sampai, ada tulisan bertuliskan “Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka”.



Di sanalah rupanya seorang ulama besar, penyair, satrawan, dan filosof, yang bernama lengkap Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah dilahirkan. Rumahnya tidak begitu besar, hanya berbahan kayu dan cukup sederhana, namun mengandung ribuan sejarah seorang ulama besar dari ranah minang. Di dalam rumah itu terpajang berbagai perjalanan yang dilalui masa hidupnya seorang Hamka. Mulai dari foto-foto masa mudanya, koleksi foto bersama keluarganya, bersama sahabat, sampai karya-karya tulis yang dihasilkan dari buah tangan emasnya, seperti Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Vanderwick, buku Tasawuf Modern, dan lain-lain.
Namun cukup mencengangkan, yang banyak mengunjungi hanyalah turis asing. Misalnya dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sedangkan pengunjung dari orang Minang sangatlah minim, apalagi dari daerah Indonesia yang lain. Itu terbukti, data pengunjung, foto-foto pengunjung, dan kenang-kenangan dari pengunjung museum tersebut. Selepas dari sana, kami memutar haluan menuju Kota Padang Tercinta, meninggalkan Nagari yang penuh sejarah itu.
Wahyu Saputra
Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNP.

0 Comments