Artikel ini menjelaskan tentang studi kasus gangguan
berbahasa terhadap orang sumbing. Bibir sumbing (labioschizis) biasanya
timbul sebagai cacat bawaan sejak lahir akibat gangguan dalam proses penyatuan
bibir atas pada masa embrio awal. Bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan,
pada penderita sumbing tidak mengganggu kegiatan apapun dalam kehidupan sehari-harinya.
Hanya saja suara yang dihasilkan terdengar bindeng
atau sengau, sehingga artikulasi yang diucapkan kurang jelas. Salah satu
faktor gangguan alat artikulasi adalah gangguan akibat faktor
resonansi yang menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi
tersengau atau bindeng. Pada orang sumbing, misalnya, suaranya menjadi
tersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan
untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum),
sehingga resonansi yang seharusnya keluar menjadi terganggu. Hal itu
dapat terjadi pada seseorang yang memiliki gangguan pada rongga mulut dengan
rongga hidung yang tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga suara yang
seharusnya normal menjadi sengau atau bindeng.
Di dalam artikel ini juga dibahas tentang suara sengau
atau bindeng, kelumpuhan artikulasi bahkan penanganan suara bindeng tersebut.
Mengingat bahasa adalah suatu sistem isyarat yang mempunyai bahagian
terpenting yang berupa gabungan arti dengan bayangan bunyi dan kedua-duanya
bersifat psikologi, juga serangkaian bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi
bagi manusia.
Kata
Kunci: Alatartikulasi, suara bindeng atau sengau, dan penderita sumbing.
PENDAHULUAN
Manusia adalah
makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai media dalam berkomunikasi.
Selain itu, bahasa juga menjadi media untuk mengungkapkan emosi dan pikiran.
Emosi manusia terbagi dua yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif
berupa luapan rasa bahagia, senang dan gembira, sedangkan emosi negatif berupa
marah, sedih, dan murung. Jadi, bahasa merupakan media yang berperan penting
dalam kehidupan manusia.
Menurut De Saussure dalam Simanjuntak
(1987:105) menjelaskan bahwa bahasa adalah suatu sistem isyarat yang mempunyai
bahagian terpenting yang berupa gabungan arti dengan bayangan bunyi dan
kedua-duanya bersifat psikologi. Bahasa juga dapat dicirikan sebagai rangkaian
bunyi, dalam hal ini manusia menggunakan serangkaian bunyi sebagai alat untuk
berkomunikasi, di samping alat penggunaan komunikasi yang lain seperti isyarat
dan sebagainya. Ciri bahasa yang lain adalah bahasa sebagai lambang, rangkaian
bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang bisa dikenal
sebagai kata yang melambangkan suatu objek tertentu, misalnya kursi, bunga,
kucing dan sebagainya. Makna yang muncul dari kata-kata tersebut merupakan
unsur yang bersumber serta melibatkan ide, konsep, pikiran, dan proses berpikir
itu sendiri merupakan unsur yang berada dalam tanda bahasa.
Selain itu bahasa juga bersifat universal
karena setiap manusia di dunia ini pasti menggunakan bahasa. Namun sering
kita jumpai orang yang memiliki bibir sumbing (resonansi) dengan suara
sengau atau bindeng di lingkungan kita. Jika kita mendengar orang tersebut
berbicara, kita akan merasa geli atau merasa berbeda dengan suara orang-orang pada umumnya.
Perbedaan suara sengau dengan suara orang normal, membuat penderita
sumbing tersebut merasa minder atau tidak percaya diri terhadap hasil ujarannya
dalam berkomunikasi dengan teman atau orang di lingkungannya. Hal tersebut
membuat penderita sumbing merasa terasing dan mencoba untuk tidak
bersuara karena malu ditertawakan teman-temannya.
Suara sengau terjadi ketika suara yang
dihasilkan seorang penderita sumbing karena rongga mulut dan rongga hidung
yang digunakan untuk berkomunikasi melalui efek di langit-langit keras (palatum),
sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu, (Chaer, 2003:150).
Akibatnya tidak jelas dalam pengucapan kata atau kalimat dan
menyebabkan ujaran yang dihasilkan penderita sumbing menjadi tidak
dapat difahami dan proses komunikasi akan terganggu. Dalam pandangan ilmu
kesehatan dan ilmu kebahasaan, orang yang menderita sumbing dianggap
sebagai orang yang memiliki gangguan dalam proses berbahasa, karena
orang yang menderita sumbing tidak mampu berbicara atau berbahasa
dengan normal seperti kebanyakan orang dalam berkomunikasi pada umumnya.
Para pakar linguistik
deskriptif biasanya mendefenisikan bahasa sebagai “satu sistem lambang bunyi
yang bersifat arbitrer,” yang kemudian lazim ditambah dengan “yang digunakan
oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan diri”
(Chaer, 1994 dalam Abdul Chaer 2003:30). Jadi sebagai alat komunikasi manusia, bahasa
adalah suatu sistem yang sekaligus bersifat sistematis dan sistemtis. Sistematis
artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak dan
sembarangan. Sistematis adalah bahwa itu bukan suatu sistem tunggal, melainkan
terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem morfologi, sintaksis,
semantik, dan fonologi.
Morfologi membicarakan seluk-beluk morfem,
bagaimana cara menentukan sebuah bentuk tersebut morfem atau tidak, serta
bagaimana morfem-morfem itu berproses menjadi kata. Sintakis membicarakan kata
dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan
ujaran. Semantik membicarakan makna atau arti. Fonologi mempelajari, menganalisis,
dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa, (Chaer, 1994:4). Fonologi
bertanggung jawab dalam soal penataan bunyi-bunyi bahasa ke dalam sistem
bahasa serta bagaimana pula bunyi-bunyi itu digunakan. Pengetahuan tentang
bunyi merupakan suatu prasyarat untuk dapat mempelajari dan memahami
seluk-beluk bahasa dengan baik. Ilmu yang mempelajari seluk-beluk bunyi-bunyi
bahasa itu disebut fonologi (Lapoliwa,
1988:3).
Jadi penelitian fonologi merupakan suatu penelitian
yang mendasar untuk mengetahui struktur suatu bahasa. Penelitian fonologi membicarakan aspek fonem dan aspek bunyi suatu
bahasa. Untuk menentukan status bunyi bahasa sebagai sebuah fonem
atau bukan diperlukan suatu penelitian yang melibatkan berbagai teori fonologi.
Bila berbicara mengenai
fonologi maka ada dua bagian besar yang akan dibahas yaitu masalah fonemik dan
fonetik. Fonemik dan fonetik tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Fonetik merupakan bidang ilmu linguistik yang
mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda
makna atau tidak. Fonetik ada
tiga jenis: (a) artikulatoris, (b) akustik, (c) auditoris. Fonetik
artikulatoris, disebut juga fonetik organis atau fonetik
fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia
bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi itu diklasifikasikan.
Berdasarkan defenisi
di atas menyatakan bahwa bahasa pada dasarnya adalah suatu sistem yang sama dengan sistem-sistem lainnya dipakai oleh manusia untuk berkomunikasi
dengan manusia lain. Bahasa merupakan salah satu ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Sistem
bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem lambang, sama dengan
sistem-sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya sistem
lambang bahasa ini berupa bunyi, bukan gambar aqtau tanda lainnya, serta bunyi
itu adalah bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia. Sama dengan
sistem lambang lain, sistem lambang bahasa ini juga bersifat arbitrer. Artinya,
antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan wajib konsep yang
dilambangkannya.
Fungsi bahasa pada dasarnya mewadahi
konsep bahwa bahasa alat untuk melahirkan ungkapan-ungkapan batin yang ingin
disampaikan seorang penutur kepada orang lain. Pernyataan senang, benci, kagum,
marah, jengkel, sedih, maupun kecewa dapat diungkapkan dengan bahasa. Meskipun
tingkah laku, gerak-gerik, dan mimik juga berperan dalam pengungkapan ekspresi
batin tersebut. Maka fungsi-fungsi bahasa itu bisa menjadi sangat banyak sesuai
dengan tindak dan perilaku serta keperluan manusia dalam kehidupan, (Chaer,
2003:33).
Segala sesuatu di
dunia ini tidak ada yang sempurna selain yang menciptakannya yaitu Tuhan Yang
Maha Kuasa, termasuk manusia walaupun manusia lebih mulia dari binatang.
Sehingga dengan ketidaksempurnaan tersebut dapat kita simpulkan bahwa setiap
manusia pasti mempunyai kekurangan maupun kelebihan. Hal itu bisa dilihat dari
segi pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, baik kelebihan dan kekurangan secara
jasmani, kelebihan dan kekurangan secara rohani maupun kelebihan dan kekurangan
secara materi. Misalnya seseorang memiliki kehidupan yang mewah secara materi,
jasmani yang sehat dengan tubuh yang tampan atau cantik, namun dia mengalami
gangguan kejiwaan, artinya dia mengalami kekurangan dari segi rohani.
Sedangkan apabila
seseorang yang hidup serba sederhana, rohani yang sehat, namun mengalami cacat
fisik, itu artinya seseorang tersebut termasuk kekurangan dari segi fisik.
Cacat fisik tersebut bisa berupa dari segi bentuknya, dari segi penggunaan atau
fungsinya, bahkan ada yang menderita kedua-duanya, yaitu baik dari segi
bentuknya maupun dari segi fungsinya, contohnya penderita bibir sumbing.
Manusia yang normal alat ucapnya tentu
dapat menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dengan baik, sedangkan orang yang tidak
normal alat ucapnya tidak dapat berfungsi layaknya orang normal, dalam hal ini
melafalkan fonem-fonem yang dapat membedakan makna. Gejala ini salah satunya
terlihat pada penderita bibir sumbing. Bibir sumbing (labioschizis) biasanya
timbul sebagai cacat bawaan sejak lahir. Kelainan ini terjadi akibat gangguan
dalam proses penyatuan bibir atas pada masa embrio awal. Bibir sumbing yang
ringan hanya tampak sebagai celah kecil di atas bibir atas yang tidak
terliaht jelas.
Sumbing yang berat dapat terjadi di kedua
sisi bibir atas dan membentuk celah sampai ke lubang hidung dan langit-langit.
(www.republika.co.id).
Seorang anak yang menderita bibir sumbing akan mengalami gangguan dalam
mengunyah, menggigit, merobek makanan, dan juga berbicara akibat cacat di kedua
sisi bibir atas dan membentuk celah sampai ke lubang hidung dan langit-langit (labiopalatoschizis).
(www.info-sehat.com,
diakses pada tanggal 12 Juni 2011).
Bibir sumbing ringan dan berat mengalami
gangguan dalam bicara. Keadaan tersebut berubah ketika penderita bibir sumbing
ringan dan berat dioperasi. Penderita bibir sumbing ringan tidak mengalami
gangguan dalam berbicara setelah operasi karena kerusakan hanya berupa celah
kecil di atas bibir atas dan tidak terlihat jelas. Cara bicara penderita bibir
sumbing ringan berubah seperti orang normal. sumbing ringan berubah seperti
orang normal. Namun, keadaan tersebut berbeda dengan penderita bibir sumbing
berat. Penderita bibir sumbing berat masih mengalami gangguan bicara walaupun
operasi telah dilakukan. Kerusakan yang diderita terlalu parah sehingga tidak
dapat diperbaiki secara keseluruhan. Celah di langit-langit sampai ke lubang
hidung masih terlihat rusak, hanya celah menganga di bibir atas yang terlihat
rapat. Peneliti tertarik meneliti penderita bibir sumbing berat yang telah
dioperasi, yang selanjutnya disingkat dengan
penderita bibir sumbing.
Sewaktu-waktu kita
berkomunikasi dengan penderita bibir sumbing, lafal penderita bibir sumbing
tidak jelas dan sengau akibat cacat alat ucap yang dideritanya. Lafal adalah
cara seseorang atau sekelompok orang di suatu masyarakat bahasa mengucapkan
bunyi bahasa (KBBI, 2005:623). Kesulitan atau kendala dalam menginterpretasikan
lafal dari penderita bibir sumbing tentu akan muncul. Lafal yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah lafal fonem-fonem segmental pada penderita bibir sumbing.
Kita tidak bisa langsung menginterpretasikan fonem apa yang dimaksudkan oleh
penderita bibir sumbing akibat kerusakan artikulator pada alat ucapnya.
Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap
sesuatu, tafsiran (KBBI, 2005:439). Interpretasi yang dimaksud pada penelitian
ini interpretasi orang normal terhadap lafal-lafal fonem penderita bibir
sumbing.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang
memiliki penderita suara bindeng atau sengau ada yang sementara
(jangka pendek) dan ada yang permanen (jangka panjang). Bindeng dalam yang
sementara dipengaruhi karena adanya virus atau infeksi pada daerah rongga mulut
sampai hidung, yang terjadi pada orang sebelumnya bersuara normal
tetapi pada saat tertentu dan penyebab tertentu menjadi bersuara sengau atau
bindeng. Bindeng permanen atau jangka penjang terjadi pada orang yang dari
kecil sudah bersuara sengau dan terjadi permasalahan dalam alat artikulasi
orang tersebut. Hal itu dipengaruhi keadaan atau kondisi alat artikulasi,
khususnya rongga mulut dan hidung yang dimiliki oleh seseorang yaitu
penderita sumbing.
Jika alat artikulasi seseorang berjalan
dengan normal, suara yang dihasilkan pun akan normal dan jelas. Jika
alat artikulasi seseorang terganggu, suara yang dihasilkan pun akan terganggu
dan mengalami beberapa gangguan dalam berbahasa. Peneliti melihat bahwa penderita bibir sumbing
tidak dapat melafalkan fonem-fonem segmental dengan jelas. Banyak fonem-fonem
yang dilafalkan secara samar oleh penderita bibir sumbing, tanpa ada perbedaan
yang nyata, terlebih pada fonem-fonem yang homorgan. Fonem homorgan adalah
bunyi yang sama daerah titik artikulasinya (KBBI, 2005:407). Akibatnya, muncul
kendala dalam menginterpretasikan fonem apa yang dimaksudkan oleh penderita
bibir sumbing. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara mentranskripsikan
bunyi-bunyi bahasa.
Dalam hal ini, akan dianalisis bagaimana
gangguan artikulasi dapat berpengaruh pada penderita sumbing (resonansi) dan
bagaimana cara mengatasi agar penderita sumbing dapat sembuh sehingga
memilki suara yang normal kembali dan ujarannya dapat difahami dari segi
semantik dan sintaksisnya.
Metode merupakan cara kerja yang dilakukan
untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian ilmiah harus berdasarkan
fakta-fakta untuk mendukung kebenaran, sedangkan metode adalah
cara kerja untuk memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dalam penelitian ini informan utama dan alat
utamnya yaitu peneliti sendiri dan informan lainnya yaitu seorang mahasiswa
Universitas Negeri Padang (UNP) penderita bibir sumbing yang menghasilkan suara
bindeng atau sengau.
Jadi jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif. Sesuai dikatakan Bogdan dan Tylor
(dalam Moleong, 2003:3) menyatakan bahwa penelitian kulitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Oleh sebab itu, cara yang
tepat untuk mencapai sasaran sehingga dapat memahami suatu objek yang
dikendaki adalah metode deskriptif. Menurut Moleong (2002:6) data yang
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka yang penelitian berisi
kutipan-kutipan dinamakan deskriptif. Hal
ini sesuai dengan pendapat Moleong (2000:121) yang mengatakan bahwa peneliti
merupakan perencanaan, pelaksana pengumpulan data, penganalisis, penafsir data,
dan pelapor hasil penelitian.
Metode deskriptif
dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang
seorang mahasiswa penderita sumbing. Dengan menggunakan pendekatan
naturalistik, metode kualitatif, karena dilakukan pada latar alamiah. Oleh
sebab itu, cara yang cocok digunakan dalam mencapai sasaran sehingga dapat
memahami suatu objek yang dikehendaki adalah metode deskriptif. Maka peneliti dalam penelitian ini menggunakan data
lisan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap, metode
simak, dan metode padan. Metode cakap adalah metode yang berupa
percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur
selaku narasumber. Metode simak berupa
penyimakan yang dilakukan dengan menyimak, yaitu dengan menyimak penggunaan
bahasa.
Sesuai dengan jenis data yang berupa
lisan, teknik yang dipakai dalam pengumpulan data adalah
teknik cakap semuka, teknik rekam, dan
teknik catat (Sudaryanto,
1993:135-137). Sebagai langkah untuk mendapatkan informasi, peneliti
menggunakan teknik cakap semuka, karena percakapan itu dikenali oleh peneliti
dan diarahkan sesuai dengan kepentingan, yaitu memperoleh data
selengkap-lengkapnya sebanyak tipe data yang dikehendaki atau diharapkan. Pada
saat perbincangan berlangsung, peneliti merekam ujaran yang diperlukan sebagai
data menggunakan alat perekam, HP merek Tiphone. Selain merekam menggunakan HP,
peneliti juga mencatat data tersebut. Tujuannya untuk menghindari kemungkinan
hilangnya data apabila terjadi kesalahan teknis dalam penggunaan alat pertekam
seperti HP tersebut.
Metode yang
digunakan dalam menganalisis data adalah metode padan dengan teknik pilah
unsur penentu dengan daya pilah sebagai pembeda organ wicara. Alat teknik pilah unsur
penentu dengan daya pilah sebagai pembeda organ wicara ialah daya pilah yang bersifat
mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993:21-24). Dari teknik ini akan
kelihatan bahwa organ wicara dapat menunjukkan perbedaan mekanisme penghasilan
bunyi. Daya pilah yang dimiliki oleh peneliti berguna untuk memastikan
perbedaan dan persamaan bunyi-bunyi
yang dihasilkan oleh alat artikulasi pada penderita suara bindeng
(sumbing)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini dibahas mengenai hasil dan
pembahasan berdasarkan deskripsi data dan temuan tentang pengaruh kelumpuhan
alat artikulasi pada penderita sumbing, yaitu muali dari suara bindeng,
kelumpuhannya, gangguan alat artikulasi dan penanganan suara bindeng atau
sengau.
1. Suara
Sengau atau Bindeng Terhadap Penderita Sumbing (Resonansi)
Penelitian
ini diawali dengan melakukan observasi atau pengamatan terhadap anak yang
bernama Indra, yang berumur 25 tahun. Dia seorang mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Negeri Padang, yang bergiat dalam organisasi KSR PMI UNP. Pada
pengamatan atau observasi peneliti duduk dan komunikasi langsung dengan
informan, beserta beberapa teman dari anggota KSR PMI dan SKK Ganto di ruang
Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) UNP. Hal ini berlangsung ketika acara gebyar SKK
Ganto ke-22. Di bawah ini adalah kutipan dialognya:
Peneliti : Woi…baa kaba bang?
(Woi…, Apa kabar bang?)
Indra : Hei.., Wahyu. Biaso se Yu, baa
kaba kini? Lai megah acaranyo ndak?
(Hei…Wahyu. Biasa aja
Yu, gimana kabarnya sekarang? Mugah juga ya acaranya?)
Peneliti : Hehe…biaso se acaranyo bang,
daripado indak, hahaa. Duduklah dulu bang?
(Hehe..,baiasa aja
acaranya bang, daripada gak ada, hahaha. Duduklah dulu bang?)
Indra : Yo Wahyu, ko lah megah ko mah.
(Ya Wahyu, ini sudah termasuk megah
acaranya)
Peneliti : Oh, yo bang. Bisa mintak waktu
sabanta beko bang?
(Oh, ya bang. Bisa minta waktunya sebentar
nanti bang?)
Indra :
Bisa, ado apo tu?
(Bisa, memangnya ada apa?)
Peneliti : Ndak ado dow gai dow, Cuma ado nan
ka ditanyo se…
(Gak,
ada apa-apa bang, Cuma ada yang akan ditanya aja).
Jadi percakapan tersebut, peneliti dapat
menyimpulkan kendala artikulatoris adalah kendala
berupa kerusakan artikulator pada penderita bibir
sumbing, sehingga tidak dapat
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dengan baik. Rongga hidung adalah
rongga saluran suara yang mencakup hidung dan faring hidung. Salah satu kerusakan yang diderita oleh penderita
bibir sumbing adalah kerusakan
pada rongga hidung. Akibat robeknya langit-langit, celah menuju rongga
hidung menjadi lebih besar sehingga volume dari paru-paru cenderung keluar
melalui rongga hidung. Oleh karena itu suara yang dihasilkan oleh penderita sumbing
terdengar bindeng atau sengau.
Pada usia berapa saja terdapat hipernasalitas atau hiponasalitas (sengau atau bindeng)
yang nyata atau mempunyai suara yang monoton tanpa berhenti, sangat keras dan
tidak dapat didengar serta terus menerus memperdengarkan suara serak. Suara
sengau terjadi karena banyaknya sekret yang menutupi hidung,
sinus paranasal jadi tidak berfungsi optimal, padahal salah satu fungsi
sinus paranasal di hidung adalah menggemakan suara. Kelainan ini terjadi
akibat gangguan dalam proses penyatuan bibir atas pada masa embrio awal.
Warna suara tidak hanya dibentuk dari
pita suara. Rongga di wajah, terutama di bagian mulut dan hidung, juga
berpengaruh. Jika ada hal yang membuat rongga di hidung dan mulut buntu, suara
yang keluar akan sengau. Ada dua jenis bindeng, yaitu aperta dan oklusa.
Sengau oklusa terjadi akibat sumbatan benda cair atau padat. Sumbatan benda
cair, antara lain, terjadi ketika kita pilek berat. Sumbatan benda padat
bisa berupa tumor, polip, atau benda asing yang sengaja atau tidak sengaja
masuk ke hidung, bahkan karena bibir sumbing yang dibawa sejak lahir.
Bindeng aperta terjadi akibat kelumpuhan
anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Kelumpuhan anatomis itu
tidak disebabkan trauma, tetapi yang paling sering terjadi karena stroke atau
kelupuhan pada organ tertentu. Stroke tidak hanya memengaruhi
saraf di kepala. Saraf yang memelihara otot di langit-langit juga ikut lumpuh.
Akibatnya, pengucapan huruf seperti "ng" atau huruf lain yang
menggunakan otot di langit-langit menjadi tidak normal.
Bindeng aperta juga
terjadi bila ada kerusakan struktur anatomi. Misalnya, penyakit karena
menderita bibir sumbing ringan maupun bibir sumbing berat. Keadaan
tersebut berubah ketika penderita bibir sumbing ringan dan berat dioperasi.
Penderita bibir sumbing ringan tidak mengalami gangguan dalam berbicara setelah
operasi karena kerusakan hanya berupa celah kecil di atas bibir atas dan tidak
terlihat jelas. Sedangkan penderita bibir sumbing berat masih
mengalami gangguan bicara walaupun operasi telah dilakukan. Akibatnya,
tulang rawan hidung berlubang dan rusak berat. Hal itu juga membuat suara
menjadi bindeng.
Bindeng menurut Prof. Dr. Hartono
Abdurrahman, Kepala Sub-Bagian Laring THT RSCM, (http://abdulkholeq.blogspot.com), pada
umumnya hanya terjadi karena pembengkakan atau lumpuh sebelah pada salah satu
pita suara, yang disebabkan oleh kelebihan kelenjar tiroid. Sehingga, sebagian
serabut romawi X yang berfungsi sebagai saraf motorik pada pita suara ikut
lumpuh. Penderita biasanya sulit menyebut beberapa huruf secara jelas. Nada
suara itu hanya keluar lewat hidung dengan bunyi suara bersengau. Huruf T dan D
bisa diucapkan menjadi N. Contohnya, kata “tetapi” menjadi “nenapi”.
Distorsi ini terjadi karena sistem resonansi berupa dinding faring yang
seharusnya mampu menutup aliran udara ke hidung tidak berfungsi secara normal.
Gangguan ini bisa berakibat macam-macam bagi setiap orang.
2. Kelumpuhan
Alat Artikulasi
Proses bicara melibatkan beberapa sistem
dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di
otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur
artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung, pengaturan laring,
alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung
jawab untuk pengeluaran suara. Dalam proses berbahasa, peran alat
artikulasi sangat penting. Alat artikulasi berperan dalam pengucapan dan
pengaturan mengujarkan sesuatu sehingga semantik dan sintaksis dari ujaran yang
dihasilkan dapat diterima dengan jelas.
Apabila salah satu bagian dari alat
artikulasi terganggu, dapat dipastikan suara atau ujaran yang dihasilkan
menjadi tidak jelas dalam segi semantik dan sintaksisnya. Alat artikulasi
terganggu karena beberapa faktor, diantaranya kinerja salah satu bagian
artikulasi yang tidak maksimal, adanya kerusakan pada salah satu bagian alat
artikulasi dan terganggunya alat artikulasi karena penyakit tertentu, contoh
stroke dan bibir sumbing yang dapat melumpuhkan rongga mulut bagian
atas dalam pengujaran.
Salah satu faktor gangguan alat artikulasi
adalah gangguan akibat faktor resonansi, gangguan akibat faktor resonansi
menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi tersengau. Pada orang sumbing,
misalnya, suaranya manjadi tersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga
hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit
keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal itu
dapat terjadi pada seseorang yang memiliki gangguan pada rongga mulut dengan
rongga hidung yang tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga suara yang
seharusnya normal menjadi sengau atau bindeng.
3. Gangguan
Alat Artikulasi Suara Bindeng Penderita Sumbing (Resonansi)
Dari penjelasan di atas dapat
diketahui bahwa dalam proses menghasilkan ujaran atau dalam proses berbahasa,
alat artikulasi memilki peran yang penting dalam menghasilkan sebuah ujaran.
Alat artikulasi berperan dalam proses artikulasi dalam proses penciptaan
sebuah ujaran sebagai alat untuk mempermudah dalam menghasilkan ujaran dan
mempermudah menghasilkan ujaran yang jelas baik secara semantik maupun
sintaksis.
Alat artikulasi tersebut mempengaruhi
pada pelafalan pada proses penciptaan sebuah ujaran. Jika alat artikulasi
bekerja dengan baik, ujaran yang dihasilkan pun akan jelas dan dapat dimengerti
dari semantik dan sintaksisnya. Begitu sebaliknya, jika alat artikulasi
mengalami gangguan, ujaran yang dihasilkan pun akan menjadi tidak jelas dan
tidak memiliki semantik dan sintaksis yang jelas pula.
Banyak sekali gangguan berbahasa yang
dijumpai karena gangguan pada alat artikulasi manusia, baik karena tidak
maksimalnya kinerja salah satu bagian alat artikulasi atau karena adanya
sesuatu yang menghalagi kinerja alat artikulasi, baik tumor, kanker atau
kelenjar-kelenja tertentu yang mengganggu kinerja alat artikulasi.
Gangguan pada alat artikulasi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah gangguan akibat faktor resonansi. Gangguan
akibat faktor resonansi tersebut menyebabkan suara yang dihasilkan
menjadi tersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suaranya manjadi tersengau
(bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk
berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum),
sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Di antara gangguan
berbahasa yang disebabkan adanya gangguan pada alat artikulasi adalah bindeng.
Bindeng terjadi saat adanya gangguan alat
artikulasi pada proses pengujaran. Bindeng terjadi karena gangguan alat
artikulasi antara rongga mulut atas dengan rongga hidung. Gangguan tersebut
dapat disebabkan adanya infeksi atau adanya penyumbatan pada rongga hidung
berupa kelenjar cair atau padat.
Sumbatan benda cair,
antara lain, terjadi ketika kita pilek berat. Sumbatan benda padat bisa
berupa tumor, polip, atau benda asing yang sengaja atau tidak sengaja masuk ke
hidung. Selain adanya penyumbatan pada rongga hidung, bindeng juga dapat
disebabkan kondisi kelumpuhan pada rongga mulut atau rongga hidung. Salah satu
penyebabnya adalah efek dari stroke atau pembawaan dari kecil
sehingga bindeng yang terjadi pada penderita karena kelumpuhan pada rongga
mulut atau rongga hidung tersebut menjadi lama untuk normal kembali, bahkan
tidak dapat disembuhkan karena alat artikulasinya lumpuh.
Namun, sesuai hasil pengamatan, wawancara
dan survei, walaupun informan (Indra) tersebut menderita sumbing, dia hanya
mengeluarkan bunyi bindeng atau sengau agak ringan. Karena dia berumur sekitar
tiga tahun sudah operasi jahit pada bagian bibirnya, sehingga lobang yang
terbuka dari mulut ke rongga hidung tadi agak tertutup, dan bunyi yang
dihasilkan tidak terlalu sengau. Berikut hasil kutipannya:
Peneliti :
Baa bang, maota seketek sebelum lalok?
(Gimana bang, bercerita-cerita sebelum tidur?)
Indra
: Oh, bisa. Wak ndak do lo kegiatan kini hah.
(Oh, bisa. Saya tidak ada kegiatan sekarang)
Peneliti :
Sebelumnyo maaf bang hah, wak nio tahu tentang pribadi
abang agak seketek.
(Sebelumnya maaf ya bang, saya ingin tahu
sedikit tentang abang).
Indra : Jadi
wawancara ceritonyo ko? Untuk apo tu Wahyu?
(Jadi ceritanya sekarang
diwawancara? Untuk apa tu Wahyu?
Peneliti
: Untuk tugas bang, di jurusan wak ado mata kuliah psikolingusitik. Jadi
wak
meneliti tentang kebahasaan untuak tugas akhir. Maaf, abangkan sumbing tu, jadi
wak nio tahu tentang itu. bisa bang?
(Untuk
tugas bang, di jurusan saya ada mata kuliah psikolinguistik. Jadi
saya
meneliti tentang kebahasaan sebagai tugas akhir. Maaf, abangkan sumbing, jadi
saya ingin tahu tentang itu bang).
Indra
: Ooh.., ndak kanai bang beko kan?
(Ooh..Nanti abang tidak kenapa-kenapakan?)
Peneliti
: Ndak dow gai bang, Cuma untuk tugas se nyow. Sejak bilo
bang
dapek sumbing tu bang?
(Gak
bakalan bang, Cuma untuk tugas aja bang. Kapan bang menderita sumbing itu
bang?)
Indra
: Sajak ketek, tapi ko lah dijaik ko waktu ketek, sekitar umua
tigo taun lah.
(Sejak
kecil, tapi ini sudah dijahit diwaktu kecil, sekitar umur tiga tahun lah)
Peneliti :
Mmm…, tu baa tu bang. Ado ndak bang maraso terganggu
dalam mengecek?
(Mmm.., Teruis gimana bang. Ada gak
bang merasa terganggu dalam berbicara?)
Indra
: Ndak, paling urang yang mandanga agak kurang ngerti. Kalo kawan dakek
biasonyo se nyo, karno inyo ngarati.
(Tidak, paling-paling orang yang mendengar saja yang
sulit mengerti. Kalau teman dekat, biasa aja karena dia sudah ngerti).
Peneliti :
Ado ndak bang maraso minder bang?
(Ada gak bang merasa minder bang?)
Indra
: Ado, tapi kadang-kadang, misalnyo waktu ka batanyo dalam
kuliah. Tapi klo lah tabiaso biaso
se lai.
(Ada, tapi kadang-kadang,
misalnya waktu bertanya dalam kuliah. Tapi kalau swudah terbiasa, baiasa aja.)
Peneliti : Makan
atau ngunyah bang?
(Kalau makan dan mengunyah bang?
Indra : Ndak.
(Tidak)
Peneliti : Selain itu ado ndak taganggu bang?
(Selain itu ada gak gangguan lainnya bang?
Indra : ndak ado, biasonyo Yu,
caliak lah bang. Dikampus bang
masuk jo organisasi, KSR PMI,
KAMMI, kegiatan pun
banyak, tapi biaso se nyow…
(Tidak ada, biasanya Yu.
Lihatlah, di kampus bang masuk organisasi juga, KSR PMI, KAMMI, kegiatan pun
banyak, tapi biaso se nyow..)
Peneliti : ooh…,
(Ooh..)
Indra : lah
Wahyu? Bang ado kawan manggie hah…
(Sudah Wahyu? Ada teman yang manggil abang?)
Peneliti : Oh,,,yo lah bang.
Mintak no bang? Klo ado yang kurang bia
wak hubung bang.
(Oh,,yo lah bang. Mintak no bang?
Kalau ada yang kurang nanti aku hubungi abang)
Indra :
catat, 085274312019.
(Catat, 085274312019)
Peneliti : makasih banyak yo
bang?
(Terima kasih ya bang?)
Indra : Yo
Wahyu.
(Ya Wahyu).
Dari hasil kutipan percakapan di atas,
dapat disimpulkan bahwa Informan (Indra sebagai narasmuber), tidak mengalami
gangguan apapun dalam kegiatannya seharihari, hanya saja ada sedikit rasa
minder, malu ketika pertama kali untuk berkomunikasi dalam lokalnya diwaktu
kuliah. Namun, apabila hal tersebut suah biasa dilakukan rasa minder tersebut
berubah dengan rasa percaya diri, alaupun suara yang dihasil dari ucapannya
agak sedikit terdengar bindeng atau sengau. Hal itu terbukti, bahwa Indra
selalu aktif dalam berorganisasi di kampus, otomatis dalam beroerganisasi
tersebut dia banyak berkomunikasi, namun hal itu menjadi sebuah tantangan
baginya.
4.
Penanganan Pada Penderita Bindeng
(Rhinolalia)
Bermacam-macam penanganan pada penderita
bindeng. Bila bindeng masih tergolong ringan, penanganannya cukup diterapi
lewat latihan pernapasan dan latihan vokal. Latihan pernapasan itu berupa
menahan napas selama satu menit sebanyak 18 sampai 20 kali. Juga latihan
memperkuat kontraksi katup suara. Latihan ini berupa menarik dan menahan napas
selama 40 detik. Cara ini dipakai untuk melatih aliran buka-tutup udara menuju
paru-paru. Bila pasien mampu melewati fase itu, berikutnya adalah latihan
fonetis. Latihan ini bertahap, dari pengucapan huruf A, I, O, E, U, meningkat
ke suku kata, lalu kalimat.
Sebenarnya penanganan bindeng
bergantung penyebabnya. Untuk bindeng oklusa, penyebab bindeng disembuhkan
lebih dulu. Jika pilek sembuh, dengan sendirinya suara kembali normal. Tapi,
bila penyebabnya polip, harus dioperasi. Jika disebabkan kanker nasofaring atau
hidung, bindeng ditangani sesuai stadium. Dapat berupa operasi pengambilan
tumor jika masih stadium awal. Jika sudah stadium lanjut, bisa dilakukan
radioterapi dan kemoterapi. Serta apabila penyebabnya adalah sumbing
bawaan sejak lahir, maka harus dioperasi diwaktu masih kanak-kanak. Namun
walaupun sudah dioperasi dengan menjahit bibir sumbing tersebut, biasanya bunyi
yang dikeluarkan penderita sumbing tetap bindeng atau sengau, hanya saja bunyi
bindeng tersebut sudah mulai berkurang dan artikulasi magak jelas.
Hal serupa terjadi pada bindeng aperta.
Bila penyebabnya infeksi, infeksi disembuhkan lebih dulu. Kemudia, pasien dapat
menjalani operasi rekonstruksi untuk mengganti tulang rawan yang berlubang dan
rusak. Hal yang sama dilakukan bila penyebab bindeng adalah stroke.
Penyakit tersebut harus disembuhkan lebih dahulu. Kemudian, pasien dapat
menjalani serangkaian terapi, terutama speech therapy. Khusus stroke, speech
therapy biasanya dilakukan oleh spesialis rehabilitasi medis.
Ada pula speech therapy yang ditujukan khusus
untuk pasien penyakit infeksi hidung dan langit-langit.
SIMPULAN DAN SARAN
Sebagai alat
komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem yang sekaligus bersifat
sistematis dan sistemtis. Sistem bahasa merupakan sistem lambang,
sama dengan sistem-sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya.
Hanya sistem lambang bahasa ini berupa bunyi, bukan gambar aqtau tanda lainnya,
serta bunyi itu adalah bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia.
Sama dengan sistem lambang lain, sistem lambang bahasa ini juga bersifat
arbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan
wajib konsep yang dilambangkannya.
Bibir sumbing (labioschizis)
biasanya timbul sebagai cacat bawaan sejak lahir akibat gangguan dalam proses
penyatuan bibir atas pada masa embrio awal. Bibir sumbing yang ringan hanya
tampak sebagai celah kecil di atas bibir atas dan tidak terlihat jelas. Sumbing
yang berat dapat terjadi di kedua sisi bibir atas dan membentuk celah sampai ke
lubang hidung dan langit-langit. Seseorang yang menderita bibir sumbing tidak
mengalami gangguan pada saat mengunyah, menggigit, dan merobek makanan, namun
akan mengalami gangguan berbicara yaitu bunyi bahasa yang diucapkan. Hal itu
disebabkan akibat cacat di kedua sisi bibir atas yang membentuk celah sampai ke
lubang hidung dan langit-langit (labiopalatoschizis).
Salah satu faktor gangguan alat artikulasi
adalah gangguan akibat faktor resonansi, gangguan akibat faktor resonansi
menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi tersengau. Pada orang sumbing,
misalnya, suaranya manjadi tersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga
hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit
keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal itu
dapat terjadi pada seseorang yang memiliki gangguan pada rongga mulut dengan
rongga hidung yang tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga suara yang
seharusnya normal menjadi sengau atau bindeng.
Jadi sebagai sebuah saran dari penulis,
apabila menderita gangguan berbahasa seperti suara bindeng atau sengau yang
dialami oleh penderita sumbing, hendaknya harus dioperasi secepat mungkin.
Sebaiknya waktu operasi tersebut dilakukan pada waktu anak berusia sekitar 3-5
tahun, agar setelah remaja atau menginjak dewasa penderita sumbing tersebut
tidak terlalu mengeluarkan bunyi bindeng ketika berkomunikasi.
KEPUSTAKAAN
Ali,
Lukman, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Chaer,
Abdul. 1994. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer,
Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka
Cipta.
http://www.info-sehat.com,
diakses pada tanggal 12 Juni 2011.
http://www.republika.co.id,
diakses pada tanggal 13 Juni 2011.
http://www.scribd.com/doc/47656323/Cacat-Sumbing-bab-2,
diakses pada tanggal 15 Juni 2011.
http://abdulkholeq.blogspot.com, diakses
pada tanggal 15 Juni 2011.
Lapoliwa, Hans. 1988. Pengantar Fonologi I:
Fonetik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Moleong, Lexy, J. 2000. Metode
Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy, J. 2003. Metode
Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik
Analisi Bahasa. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Simanjuntak,
Mangantar.1987. Kuala Lumpur Pengantar Psikolinguistk Modern: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Yeni, Fersima. 2008. “Interpretasi Lafal Fonem
Penderita Bibir Sumbing “ (Skripsi). Medan. USU.
0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !