Di Bawah Lindungan Ka'bah: Kasih Tak Sampai

SINOPSIS NOVEL
 “Di Bawah Lindungan Ka’bah”

Novel yang berjudul “Di bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini menceritakan tentang kisah cinta yang tidak sampai antara Hamid dan Zainab, yang mereka bawa sampai liang lahat.
Awal cerita dimulai dari keberangkatan “Si Dia” yaitu sebagai tokoh sekaligus sebagai pengarang cerita dalam Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut ke Mekah untuk pergi memenuhi rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan ibadah haji. Ketika dia tiba di Mekah, hatinya merasa sangat senang ketika melihat Ka’bah dan tujuh Menara Masjidil Haram, karena itu sudah menjadi impiannya selama ini. Dia tinggal di rumah seorang Syekh yang pekerjaan dan pencaariannya memberi tumpangan bagi orang haji. Disana dia bertemu seorang pemuda yang mulia dan patut dicontoh yang bernama Hamid. Hamid hidupnya sangat sederhana, yang tidak pernah lalai beribadah, tidak suka membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, dan sangat suka bergaul dengan kehidupan orang-orang yang suci, ahli tasawuf yang tinggi ilmu agamanya. Apabila dia terlanjur membicarakan masalah dunia dan hal ihwalnya kepada Hamid, dengan sangat halus dan tidak terasa pembicaraan itu dialihkan oleh Hamid dengan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama.
Dia akhirnya mempunyai seorang teman yang bernama Hamid, sekitar dua bulan mereka berteman, pergaulan dia dengan Hamid tiba-tiba telah terusik dengan kedatangan seorang teman baru dari Kota Padang, yaitu teman lama Hamid. Ia bernama Saleh, Saleh hanya tinggal dua atau tiga hari di Mekah sebelum naik haji, karena ia akan pergi ke Madinah dulu dua tiga hari pula sebelum jemaah haji ke Arafah. Setelah itu ia akan meneruskan perjalanannya ke Mesir guna meneruskan studinya. Namun kedatangan Saleh sebagai sahabat baru itu, mengubah keadaan dan sifat-sifat Hamid.
Setiap hari dia melihat Hamid lebih banyak duduk termenung dan berdiam seorang diri, seakan-akan dia dianggap tidak ada dan tidak diperdulikannya lagi. Karena merasa tidak nyaman, akhirnya dia memberanikan diri mendekati dan bertanya kepada Hamid kenapa ia sering menyendiri. Hamid termenung kira-kira dua tiga menit setelah itu ia memandang kepadanya dan berkata bahwa itu sebuah rahasia. Namun dia tetap selalu sabar membujuk Hamid, setelah dibujuk agak lama, barulah Hamid mau menceritakan masalah yang dihadapinya. Dan ternyata rahasia yang Hamid katakan ialah tentang masa lalu dan kisah cintanya dimasa itu. Ternyata Saleh pernah mengabarkan kalau dia sudah menikah dengan Rosna yang kebetulan teman sekolahnya dan sahabat Zainab.
Suatu ketika Rosna pergi ke rumah Zainab, Zainab itu adalah orang yang Hamid sayangi selama ini, namun ia tidak berani untuk memberitahukan perasaannya itu kepada Zainab, karena teringat jasa-jasa orang tua Zainab kepada Hamid dan ibunya selama ini. Apalagi saat itu ibunya Zainab pernah meminta Hamid untuk membujuk Zainab supaya mau dinikahkan dengan kemenakan ayahnya. Padahal waktu itu Hamid berniat unuk memberi tahukan tentang perasaannya yang selama itu dia simpan kepada Zainab, namun niatnya itu diurungkannya.
Betapa terkejutnya Hamid ketika ia dimintai tolong untuk membujuk Zainab supaya mau dinikahkan dengan orang yang sama sekali belum ia kenal. Hamid gagal membujuk Zainab, karena Zainab menolak untuk dinikahkan. Hamid pulang dengan perasaan yang gundah dan kacau, sejak saat itu Hamid memutuskan untuk pergi merantau, sebelum pergi Hamid menulis surat untuk Zainab. Setelah itu mereka tidak pernah berhubungan lagi, dan sampai sekarang pun Hamid masih menyimpan perasaanya itu. Dan kedatangan Saleh tersebut memberitahukan bahwa ternyata Zainab pun menyimpan perasaan yang sama, perasaan yang selama ini disimpan oleh Hamid. Saleh memberitahukan bahwa kesehatan Zainab memburuk dan ia ingin sekali tahu bagaimana kabar Hamid.
Setelah Zainab mendengar keberadaan Hamid di Mekah, Ia pun mengirim surat kepada Hamid sebagai balasan surat Hamid yang dulu. Seminggu setelah itu, Zainab pun menghembuskan nafas terakhirnya. Hamid tidak mengetahui kematian Zainab karena pada saat itu iapun sedang sakit, sehingga temannya tidak tega untuk memberitahukan kabar tersebut kepada Hamid. Ketika Hamid sedang melaksanakan tawaf dan mencium hajar aswad ia berdoa dan menghembuskan nafas terakhirnya. Akhirnya cinta dan perasaan tersebut mereka bawa sampai ke akhir hayat.


      Iventarisasi Satuan Peristiwa
No
Rumusan Satuan Peristiwa
Narator
Hal
1
Harga getah di Jambi naik dan di seluruh tanah nusantara naik.
Aku (si pengarang)
5
2
Pemimpin Mekah pindah dari tangan Syarif ke tangan Ibnu Saud yang menjadi nama”Arabiah Saudiyah”.
Aku (si pengarang)
5
3
Orang banyak pergi menunaikan rukun islam yang ke-5 (Haji).
Aku (si pengarang)
5
4
Aku pergi Haji.
Aku (si pengarang)
6
5
Pada hari ke-15 sampai di Jedah pantai laut Merah.
Aku (si pengarang)
6
6
Aku sampai di Mekah.
Aku (si pengarang)
6
7
Aku merasa sangat senang ketika sampai di Ka’bah melihat tujuh menara Masjidil Haram.
Aku (si pengarang)
6
8
Aku berprasangka yang baik terhadap semua orang yang mengerjakan Haji.
Aku (si pengarang)
6
9
Aku berpikir tidak akan menemukan hal yang ganjil dan kesedihan ketika berada di Mekah.
Aku (si pengarang)
6
10
Aku mendengar suara adzan dari kejauhan puncak menara Masjidil Haram yang tujuh.
Aku (si pengarang)
6
11
Aku mendengar rantapan dan rintihan makhluk tuhan yang sayup-sayup diantara gemuruh do’a manusia yang sedang tawaf.
Aku (si pengarang)
6
12
Aku menumpang di rumah seorang syekh di Mekah.
Aku (si pengarang)
7
13
Aku bertemu dengan seorang anak muda (Hamid) yang berumur 23 tahun dengan badan yang kurus, berambut hitam, sangat pendiam, dan suka menyendiri.
Aku (si pengarang)
7
14
Syekh menceritakan pemuda (Hamid) itu berasal dari Sumatera yang datang pada tahun sebelumnya.
Aku (si pengarang)
7
15
Aku merasa hormat kepada dia (Hamid) dan hendak berkenalan dengannya.
Aku (si pengarang)
7
16
Dia (Hamid) hidupnya sangat sederhana, tidak lalai beribadah, tidak suka membuang waktu.
Tokoh Utama
7
17
Aku mendapat sahabat yang mulia dan patut dicontoh.
Aku (si pengarang)
7
18
Aku merasa sangat tetarik dengan kesucian semenjak bergaul dengan dia (Hamid).
Aku (si pengarang)
8
19
Pergaulan aku dan dia (Hamid) terganggu oleh kedatangan seorang sahabat baru (Saleh) dari Padang.
Aku (si pengarang)
8
20
Sahabat baru (Saleh) terkejut melihat sahabatnya (Hamid) ada di Mekah.
Aku (si pengarang)
8
21
Dia (Hamid) semakin giat membaca kitab-kitab dan bermenung seorang diri.
Tokoh Utama
8
22
Aku melihat dia (Hamid) menengadah ke langit sambil menangis dan bedo’a.
Aku (si pengarang)
9
23
Pada suatu malam dia (Hamid) duduk seorang diri di atas sutuh.
Aku (si pengarang)
9
24
Aku menegur dia (Hamid).
Aku (si pengarang)
9
25
Dia (Hamid) menanyakan keramaian orang haji.
Tokoh Utama
9
26
Aku menanyakan mengapa dia (Hamid) sering sedih dan menyendiri.
Aku (si pengarang)
9
27
Dia (Hamid) mengatakan bahwa itu sebuah rahasia.
Tokoh Utama
10
28
Aku meyakinkan supaya dia (Hamid) mau menceritakan masalah yang dihadapinya.
Aku (si pengarang)
10
29
Dia (Hamid) memberi kepercayaan kepada Aku dan mau menceritakan masalahnya.
Tokoh Utama
10
30
Dia (Hamid) menceritakan ayahnya telah meninggal semenjak dia berumur empat tahun.
Tokoh Utama
12
31
Dia (Hamid) bersama ibunya hidup miskin dirumah yang kecil yang telah tua.
Tokoh Utama
12
32
Ibuku (Ibu Hamid) diwaktu malam sering menceritakan kebaikan ayahnya.
Tokoh Utama
13
33
Ibuku (Ibu Hamid) mengajarkan do’a wirid dari almarhum ayahnya ketika hidup kepada Hamid.
Tokoh Utama)
13
34
Dia (Hamid) melihat anak-anak sebayanya menjual kue.
Tokoh Utama
14
35
Dia (Hamid) meminta kepada ibunya membuat kue.
Tokoh Utama
14
36
Dia (Hamid) menjadi seorang penjual kue yang terkenal.
Tokoh Utama
14
37
Ibuku (Ibu Hamid) sedih melihatnya (Hamid) ketika melihat anak-anak lain sekolah.
Tokoh Utama
14
38
Dia (Hamid) telah berumur enam tahun.
Tokoh Utama
14
39
Sebuah gedung besar yang dijaga oleh Pak Paiman.
Tokoh Utama
15
40
Dia (Hamid) sering meminta buah sawo dan rambutan kepada Pak Paiman.
Tokoh Utama
15
41
Gedung besar itu dibeli dan dihuni oleh saudagar tua yang kaya raya bersama istri dan anaknya.
Tokoh Utama
15
42
Dia (Hamid) setiap pagi berjualan lewat di depan rumah Engku Haji Ja’far.
Tokoh Utama
16
43
Perempuan setengah baya (Asiah) membeli jualan Hamid.
Tokoh Utama
16
44
Dia (Hamid) bertemu dengan anak perempuan sebayanya (Zainab).
Tokoh Utama
16
45
Perempuan separuh baya itu menanyakan tentangnya (Hamid).
Tokoh Utama
17
46
Perempuan separuh baya itu menyuruh dia (Hamid) membawa ibunya kerumah perempuan itu.
Tokoh Utama
17
47
Dia (Hamid) menceritakan perkataan perempuan separuh baya itu kepada ibunya.
Tokoh Utama
17
48
Ibuku (Ibu Hamid) datang kerumah perempuan separuh baya itu.
Tokoh Utama
17
49
Ibuku (Ibu Hamid) dan perempuan separuh baya itu bersahabat, harga-menghargai, dan cinta mencintai.
Tokoh Utama
18
50
Aku (Hamid) mendapat seorang adik (Zainab).
Tokoh Utama
18
51
Aku (Hamid) dan Zainab pergi ke sekolah.
Tokoh Utama
18
52
Hari minggu mereka pergi main ke tepi laut, ke Maura atau ke tepi Batang Harau.
Tokoh Utama
18
53
Mereka pergi bersama-sama ke puncak gunung Padang.
Tokoh Utama
20
54
Aku (Hamid) tamat pendididkan MULO.
Tokoh Utama
22
55
Aku (Hamid) melanjutkan sekolah ke Padang Panjang.
Tokoh Utama
23
56
Aku (Hamid) merasa kehilangan sesuatu terhadap dirinya.
Tokoh Utama
24
57
Aku (Hamid) ingat kepada teman-temannya diwaktu sekolah, terutama kepada Zainab
Tokoh Utama
24
58
Aku (Hamid) memaparkan waktu akan bertemu dengan orang-orang yang dia cintai selama ini diwaktu perjalanan dari Padang Panjang ke Padang.
Tokoh Utama
25
59
Aku (Hamid) bertemu dengan ibunya, Engku Haji Ja’far, Asiah, dan Zainab.
Tokoh Utama
25
60
Aku (Hamid) menjadi pengecut dan gugup ketika bertemu dengan Zainab
Tokoh Utama
25
61
Aku (Hamid) merasa kehilangan ketika jauh dari Zainab.
Tokoh Utama
26
62
Aku (Hamid) pulang ke Padang Panjang.
Tokoh Utama
26
63
Engku Haji Ja’far meninggal dunia.
Tokoh Utama
28
64
Ibuku (Ibu Hamid) menderita sakit.
Ibu Hamid
29
65
Mak Asiah dan Zainab datang menjenguk ibu Hamid yang sedang sakit.
Tokoh Utama
30
66
Aku (Hamid) mendapat nasihat dari ibunya.
Tokoh Utama
30
67
Aku (Hamid) termenung mendengar kata-kata nasihat dari ibunya.
Tokoh Utama
32
68
Aku (Hamid) menunggu ibunya yang sedang sekarat seorang diri.
Tokoh Utama
34
69
Ibuku (Ibu Hamid) meninggal dunia.
Tokoh Utama
34
70
Mak Asiah menyuruh Hamid datang ke rumahnya.
Tokoh Utama
36
71
Aku (Hamid) datang ke rumah Mak Asiah.
Tokoh Utama
37
72
Aku (Hamid) bertemu dengan Zainab.
Tokoh Utama
37
73
Mak Asiah menyuruh Hamid membujuk Zainab agar mau bertunangan dengan keponaan ayahnya.
Tokoh Utama
39
74
Aku (Hamid) membujuk Zainab dengan hati yang gundah gulana.
Tokoh Utama
41
75
Zainab menolak bujukan dari Hamid untuk bertunangan dengan keponaan ayahnya.
Tokoh Utama
41

76
Aku (Hamid) pulang dari rumah Mak Asiah.
Tokoh Utama
43
77
Aku (Hamid) memikirkan dia hanya bisa menjadi saudara Zainab.
Tokoh Utama
44
78
Aku (Hamid) pergi meninggalkan kota Padang, pergi ke Medan.
Tokoh Utama
44
79
Aku (Hamid) menulis surat untuk Zainab.
Tokoh Utama
45
80
Aku (Hamid) pergi ke Singapura, Bangkok, Hindustan, karachi, Basrah, Irak, melalui Sahara Nejd sampai ke Mekah.
Tokoh Utama
46
81
Saleh datang ke Mekah membawa berita tentang keadaan Zainab.
Tokoh Utama
48
82
Saleh menceritakan tentang hubungan istrinya dengan Zainab.
Tokoh Utama
49
83
Rosna datang ke rumah Zainab.
Tokoh Utama
50
84
Zainab menceritakan penderitaannya selama ini kepada Rosna, bahwa dia mencintai Hamid.
Tokoh Utama
51
85
Rosna menceritakan kepada suaminya (Saleh) bahwa Zainab cinta kepada Hamid.
Tokoh Utama
57
86
Aku (Hamid) merasa bahagia dan penuh semangat karena cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan, karena masih ada orang yang mencintainya.
Tokoh Utama
59

87
Zainab menderita sakit, badannya bertambah kurus.
Aku (si pengarang
61
88
Aku (Hamid) menderita sakit.
Tokoh Utama
65
89
Aku dan Hamid berangkat menuju Arafah.
Aku (si pengarang)
66
90
Aku (Hamid) sakitnya bertambah parah.
Tokoh Utama
66
91
Zainab meninggal dunia.
Aku (si pengarang
67
92
Aku (Hamid) diangkat oleh orang dua orang badui menuju Masjidil Haram.
Tokoh Utama
68
93
Aku (Hamid) berdo’a memegang kiswah dan berdo’a.
Tokoh Utama
69
94
Aku (Hamid) menghembus nafas terakhirnya.
Tokoh Utama
70
95
Jenazah Hamid dimakamkan di Pekuburan Ma’ala yang Masyhur.
Aku (si pengarang)
71
96
Aku meninggalkan kota Mekah.
Aku (si pengarang)
72
97
Aku tawaf keliling Ka’bah, “Haji Wada’”.
Aku (si pengarang)
73


1.      Penokohan
Penokohan adalah termasuk masalah penamaan, pemeranan, keadaan pisik, keadaan psikis, dan karakter. Bagian-bagian penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan fiksi. Pemilihan nama tokoh diniatka sejak semula oleh pengarang untuk mewakili permasalahan yang hendak dikemukakan. Sehingga dalam upaya penemuan permasalah fiksi oleh pembaca, perlu pula mempertimbangkan penamaan tokoh.
Adapun tokoh yang terdapat di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Buya Hamka ini adalah sebagai berikut:
a.       Aku
-        Secara Fisiologis, Tokoh Aku di dalam Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang tokoh sekaligus si pengarang novel itu sendiri.
-        Secara Psikologis, tokoh Aku dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah:
>        Seorang yang pintar bergaul, menghormati orang lain:
“Melihat kebiasaannya demikian dan sifatnya yang saleh, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya dan saya ingin hendak berkenalan.”
>       Seorang yang peduli dan perhatian terhadap penderitaan orang lain:
 “…kesedihannya itu telah berpindah ke dada saya, meskipun saya tak tahu apa yang disedihkannya.”, “…saya beranikan hati mendekatkan diri kepadanya. Maksud saya kalau dapat hendak membagi kedukaan hatinya.”, “…saya akan menolong engkau sekedar tenaga yang ada pada saya. Karena meskipun kita belum lama bergaul, saya tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan engkau kepada diri saya.”

-        Secara Sosioligis, tokoh Aku di dalam novel ”Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang yang hidup lebih dari cukup, tergolong dari keluarga yang mampu bahkan bisa naik Haji yang tidak semua orang dapat menjalankannya tersebut:
“Alangkah besar hati saya ketika melihat Ka’bah…”, ”saya injak Tanah Suci dengan persangkaan yang biak.”,…” tentu saja selain saya sendiri, orang-orang yang datang ke sana itu adalah orang-orang yang gembira dan mampu.”
b.      Hamid
-        Secara Fisiologis, tokoh Hamid di dalam novel “Dibawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang pemuda berusia 23 tahun yang kurus dan rambut hitam berminyak:
“Disana tinggal seorang pemuda yang baru berumur 23 tahun, badannya kurus lampai, rambutnya hitam berminyak,……”
-        Secara Psikologis, tokoh Hamid di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah:
>        Seorang pemuda yang mempunyai sifat pendiam, suka bermenung menyendiri:
“…..sifatnya pendiam, suka bermenung seorang diri dalam kamarnya itu.”, “Kadang-kadang kelihatan ia bermenung seorang diri di atas suguh rumah tempatnya tinggal, melihat tenang-tenang kepada “gela’ah…”
>        Seorang pemuda yang shaleh menjalankan ibadah, sopan, berbudipekerti yang baik dan mulia, tidak suka membuang waktu, suka bergaul dengan orang-orang yang suci:
“Biasanya sebelum kedengaran azan subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke masjid seorang dirinya”, “….dan sifatnya yang saleh.”, “…saya telah beroleh seorang sahabat yang mulia dan patut dicontoh.”, “…tiada suka lalai dalam beribadah, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang suci, ahli-ahli tasawuf yang tinggi.”, “Bila saya terlanjur membicarakan dunia dan hal-ihwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa pembicaraan itu dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama,…”
>        Suka bekerja keras, berbakti kepada orang tua, serta tabah menghadapi cobaan:
“…sehingga akhirnya saya telah menjadi menjadi seorang anak penjual kue yang terkenal.”, “…saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong.”, “…,sedang saya duduk menjaga dengan diam dan sabar.”, “masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah wafat.”, “…, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar telah menimpa kami berturut-turut.pertama ialah kematian yang sekonyong-konyong  dari Engku Haji Ja’far yang dermawan itu.”, “ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyeberangi hidup bertahun-tahun telah ditimpa sakit,…”, “…sekarang saya sudah tinggal sebatang kara dalam dunia ini!.”
>        Seorang pemuda yang berpendidikan, pintar dalam ilmu agama:
“sekolah-sekolah agama yang disitu mudah sekali saya masuki,…seorang guru memberi pikiran, menyuruh saya mempelajari agama di luar sekolah saja sebab kepandaian saya lebih tinggi dalam hal ilmu umum daripada kawan  yang lain.”

-        Secara Sosiologis, tokoh Hamid di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang pemuda yang tergolong dari keluarga orang miskin, hidupnya sangat sederhana:
“hidupnya amat sederhana,…”, “rumah tempat kami tinggal hanya sebuah rumah kecil yang telah tua, yang lebih pantas disebut gubuk atau dangau.”
c.       Saleh
-        Secara Fisiologis, tokoh Saleh di dalam novel “Dibawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seseorang yang sudah beristri:
“…Dia menceritakan kepadaku, bahwa dia telah beristri dan istrinya telah sudi melepaskan dia berlayar sejauh it,…”, “…., bahwa saya telah beristri. Istri saya ialah Rosna,…”
-        Secara Psikologis, tokoh Saleh di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang sahabat lama Hamid waktu sekolah di Padang Panjang, yang tidak bisa memegang rahasia.
“Tetapi saya sebangsa orang yang tiada tahan memegang rahasia,…”
-        Secara Sosiologis, tokoh Saleh di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang yang berpendidikan, seorang yang bisa dikatakan mempunyai harta, sehingga dia bisa naik Haji dan sekolah di Mesir:
“saleh adalah seorang teman saya semasa kami masih sama-sama bersekolah agama di Padang Panjang. Oleh karena sekolahnya di Padang telah tamat, dia hendak meneruskan pelajarannya ke Mesir, ia singgah ke Mekah ini untuk mencukupkan rukun.”
d.      Pak Paiman
-        Secara Fisiologis, tokoh Pak Paiman di dalam novel “Dibawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang yang sudah tua:
“…kepada Pak Paiman, demikianlah nama jongos yang tua itu.”
-        Secara Psikologis, tokoh Pak Paiman di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang yang baik hati, suka memberi, seorang tua yang rajin:
“selama itu kerap kali kami datang ke situ meminta buah rambutan dan saoh (sawo) kepada Pak Paiman,…”, “Pak Paiman yang telah menjadi jongos untuk memelihara perkarangan itu, belum pernah dapat suara yang keras darinya.”
-        Secara Sosiologis, tokoh Pak Paiman di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang jongos atau penjaga kebun dan pekarangan:
“…yang menjaga selama ini adalah seorang jongos tua.”, “Pak Paiman yang telah menjadi jongos untuk memelihara perkarangan itu.”

e.       Ibu Hamid
-        Secara Fisiologis, tokoh Ibu Hamid di dalam novel “Di bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, dan mempunyai seorang anak yang bernama Hamid.
“Ia meninggalkan saya dan ibu saya di dalam keadaan yang sangat melarat.”, ”...kerap kali ibu menceritakan kebaikan ayah semasa beliau hidup;...”
-        Secara Psikologis, tokoh Ibu Hamid di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang perempuan yang rendah hati, yang suka berdiam diri di rumah, yang setia terhadap suaminya, penyabar dan tabah serta yang sangat mendambakan cita-cita anaknya menjadi orang yang berguna.
“Masa setahun lagi ditunggu dengan sabar.”, ”...ibu saya kurang benar keluar dari rumah.”, ”...ibuku senantiasa merendahkan diri.”
-        Secara Sosiologis, tokoh Zainab di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang perempuan yang hidup melarat (sangat miskin) ditinggal oleh suaminya, tinggal di sebuah rumah kecil yang sudah tua.
“Rumah tempat kami tinggal hanya sebuah rumah kecil yang telah tua,…”, “Kemiskinan telah menjadikan ibu putus harapan memandang kehidupan dan pergaulan dunia ini,…”

f.        Engku Haji Ja’far
-        Secara Fisiologis, tokoh Engku Haji Ja’far di dalam novel “Dibawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah Seorang sudah tua yang mempunyai istri dan seorang anak:
 “…karena telah dibeli oleh saudagar tua yang hendak berhenti dari berniaga.”, “…pindahlah orang hartawan itu ke sana bersama dengan seorang istri dan seorang anaknya perempuan.”
-        Secara Psikologis, tokoh Engku Haji Ja’far di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang yang dermawan, suka tolong menolong, rendah hati, tidak sombong, pandai bergaul, berbudi yang baik dan ramah:
 “saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja’far sendiri bersama-sama anaknya.”, “…melanjutkan cita-cita ibu saya karena kedermawanan Engku Haji Ja’far juga.”, “ia seorang yang sangat dicintai oleh penduduk negeri, karena ketinggian budinya dan kepandaiannya dalam pergaulan, tidak ada satu pun perbuatan umum di sana yang tak dicampuri oleh Engku Haji Ja’far.” “…seorang hartawan yang amat peramah kepada fakir dan miskin.”
-        Secara Sosiologis, tokoh Engku Haji Ja’far di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang haji yang hartawan, kaya raya, memiliki rumah yang banyak dan mewah, mempunyai sawah yang luas:
“…pindahlah orang hartawan itu ke sana bersama dengan istri dan satu anaknya perempuan.”, “…memakan hasil dari rumah-rumah sewaan yang banyak di Padang dan Bukittinggi, demikian pun sawah-sawahnya yang luas di sebelah Payakumbuh dan Lintau.”

g.       Mak Asiah
-        Secara Fisiologis, tokoh Mak Asiah di dalam novel “Dibawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang perempuan yang tua sudah memiliki suami dan seorang anak serta suka makan sirih, dan memiliki wajah yang jernih:
“Mak Asiah, demikianlah  nama istri Engku Haji Ja’far itu,…”, “perempuan itu suka memakan sirih, mukanya jernih,...”
-        Secara Psikologis, tokoh Mak Asiah di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang perempuan yang baik hati, suka tolong menolong, tidak sombong, penyayang dan ramah:
“Panggil Nab, kasihan juga awak!”, ” …sekali-kali tiada meninggikan diri, sebagai kebiasaan perempuan-perempuan istri orang hartawan yang lain.”, “Kasihan…,”katanya sambil menarik nafasnya.” “…seorang hartawan yang amat peramah kepada fakir dan miskin.”
-        Secara Sosiologis, tokoh Mak Asiah di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah istri seorang yang hartawan, kaya raya, memiliki rumah yang banyak dan mewah, mempunyai sawah yang luas:
“…seorang hartawan yang amat peramah kepada fakir dan miskin.”
h.       Zainab
-        Secara Fisiologis, tokoh Zainab di dalam novel “Dibawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang gadis yang mempunyai rambut yang halus, matanya hitam.
“…sehingga kedua matanya yang hitam,”.
-        Secara Psikologis, tokoh Zainab di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang gadis yang patuh terhadap orang tua, pendiam, tidak sombong, rendah hati,
“Apa perintah ibunya diikutinya dengan patuh,…”, “sekali-kali tidaklah Zainab memendang saya sebagai orang lain lagi, tidak pula pernah mengangkat diri,…”
-        Secara Sosiologis, tokoh Zainab di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang gadis sebagai anak tunggal dari keluarga hartawan dan dermawan:
“…pindahlah orang itu ke sana bersama dengan istri dan seoang anaknya perempuan.”, “…rupanya ia amat disayangi karena anaknya hanya seorang itu.”
i.         Rosna
-        Secara Fisiologis, tokoh Rosna di dalam novel “Dibawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang perempuan yang telah mempunyai suami:
“…, bahwa saya telah beristri. Istri saya ialah Rosna,…”
-        Secara Psikologis, tokoh Rosna di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang istri yang setia dan teguh terhadap suami, seorang perempuan yang setia terhadap sahabat:
“…bahwa dia telah beristri dan istrinya tela setia melepaskan dia berlayar jauh.”, “Dipujinya istrinya sebagai seorang perempuan yang teguh hati melepas suaminya berjalan jauh,…”
-        Secara Sosiologis, tokoh Rosna di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tersebut adalah seorang perempuan yang

2.      Alur
Alur merupakan hubungan antara satu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa atau sekelompok peristiwa yang lain. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu:
a.       Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear.
b.      Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
c.       Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
Karakteristik alur dapat dibedakan menjadi konvensional dan inkonvensional. Alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Sedangkan Alur inkonvensional adalah pengarang menampilkan lebih dahulu peristiwa yang akan diceritakan sesudahnya.
Alur juga disebut plot. Menurut Stanton (dalam Nurgiantoro:1965:14), plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungakan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Menurut Kenny (dalam Nurgiantoro: 1966: 14), plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.
Sedangkan, menurut Forster (dalam Nurgiantoro:1970:93) adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.
Jadi alur yang terdapat dalam cerpen “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Buya Hamka ini adalah Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu alur maju dan mundur.
a.       Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dkk, 1992:150).
Menurut (Luxemburg dkk,1992:151-152) dalam Nurgiantoro peristiwa dapat dibedakan menjadi tiga yaitu peristiwa fungsional, kaitan dan acuan.
-        Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot.
-        Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengaurutan penyajian cerita.
-        Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang meliputi batin seseorang tokoh.   
Di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” peristiwa dimulai ketika harga getah sedang naik, pimpinan negeri Mekah Syarief Husen pindah ke tangan Ibnu Saud, dan  si Aku dalam novel tersebut pergi naik haji.
“Harga getah di Jambi naik, dan seluruh di tanah ini sedang naik, negeri Mekah baru saja pindah dari tangan Syarief Husin ke tangan Ibnu Saud, Raja Hejaz dan Nedj dan daerah takluknya.”, “Waktu itulah saya naik haji.”

b.      Konflik
Menurut (Wellek dan Warren, 1989:285) dalam Murgiantoro, konflik adalah sesuatu yang dramatis, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan.
Konplik di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini terjadi ketika persahabatan antara si Aku dengan Hamid terusik oleh kedatangan Saleh dari Padang.
“Tetapi pergaulan yang baik itu tiba-tiba telah terusik sebab dengan kapal yang paling akhir telah tiba seorang teman baru dari Padang.”

c.       Klimaks
Menurut Stanton (1965:16) dalam Nurgiantoro, klimaks adalah saat konflik telah mencapai intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya.
Klimaks adalah titik pertemuan antara dua atau lebih hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan.
Klimaks di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”  terjadi ketika Engku Haji Ja’far meninggal, dan ibu Hamid sakit-sakitan kemudian meninggal, sehingga Hamid tinggal sebatang kara sebagai yatim piatu, kemudian Hamid berangkat meninggalkan kota Padang.
“Pertama ialah kematian yang sekonyong-konyong dari Engku Haji Ja’far yang dermawan itu.”, “ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyeberangi hidup bertahun-tahun telah ditimpa sakit,…”, “Dari mulutnya keluar kalimat baka, bersama dengan kepergian nyawanya ke dalam alam suci,…”, “sekarang saya sudah tinggal sebatang kara dalam dunia ini!.”, “…dengan tidak seorang pun mengetahui, saya berangkat meninggalkan kota Padang.”

d.      Penyelesaian
Penyelesaian sebuah cerita dapat dikategorikan kedalam dua golongan yaitu:
a)      Penyelesaian tertutup, menunjukkan pada keadaan akhir sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai tuntutan logika cerita yang dikembangkan.
b)      Penyelesaian terbuka, memberi kesempatan kepada pembaca untuk ikut menularkan, mengimajinasikan dan mengkreasikan bagaimana kira-kira penyelesaiannya.
Jadi tahap penyelesaian di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” adalah ketika Zainab sakit-sakitan dan meninggal dunia, kemudian Hamid jatuh sakit sehingga dia pun menghembus nafas terakhir ketika setelah melakukan tawaf di Bawah Lindungan Ka’bah.
“Akan hal Zainab, ia sekarang sakit-sakit, badannya telah kurus.”, “…yang tiada disangka-sangka: Zainab wafat, surat menyusul, Rosna.”, “…demamnya yang di bawa dari Mekah bertambah menjadi, lebih-lebih setelah ditimpa hawa yang sangat panas di Arafah. Hamid tak mau lagi makan, badannya sangat lelah,…”, “Di bibirnya terbayang suatu senyuman dan…sam[pailah waktunya. Lepas ia dari tanggapan dunia yang mahaberat ini, dengan keizinan Tuhannya. Di bawah Lindungan Ka’bah.”

3.      Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohannya, karena secara tidak langsung latar berkaitan dengan alur atau penokohan. Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok:
Sebuah cerita pada hakikatnya ialah peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu tertentu dan pada tempat tertentu. Menurut Nadjid (2003: 25) latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi.
Menurut Nurgiyantoro (2004: 227-233) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, antara lain sebagai berikut:
a.       Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu serta inisial tertentu.
b.      Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
c.       Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks serta dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
Jadi latar yang terdapat di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Buya Hamka ini adalah:
a.       Latar Tempat
-    Mekkah (1927)
“Menurut keterangan syekh kami, anak muda itu berasal dari Sumatera, datang pada tahun yang lalu, jadi adalah dia seorang yang telah mukim di Mekah.”
-     Padang (masa anak-anak sampai remaja)
“…sehari orang akan puasa, kami dibawa ke atas Gunung Padang, karena di sanalah ayahku berkubur dan beberapa famili ibu Zainab.”
-     Padang Panjang
“Tetapi…sejak mula saya pindah ke Padang Panjang, senantiasa saya merasa kesepian.”
-     Madinah
“sepuluh hari sebelum orang-orang berangkat ke Arafah mengerjakan wukuf, jemaah-jemaah telah kembali dari ziarah besar ke Madinah.

b.      Latar Waktu
Latar Waktu yang terdapat di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” adalah Malam hari, pagi hari, sore hari, bahkan pada siang hari:
“Pada suatu malam, sedang ia duduk seorang dirinya di atas suguh,…”, “Tiap-tiap pagi saya lalu di hadapan rumah itu menjunjung nyiru berisi goreng pisang.”, “kadang-kadang di waktu sore kami duduk di beranda muka,…”Pada suatu petang, sedang matahari akan tenggelam ke dasar lautan di Batang Arau.”, “Di Arafah sangat benar panasnya,…”  

c.       Latar Sosial
Latar Sosial yang terdapat di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Buya Hamka tersebut adalah fenomena yang kadang-kadang sering juga terjadi pada lapisan masyarakat, sebagai seorang pengecut yang malu dan takut mengatakan cinta karena perbedaan derajat, baik budi seseorang, sehingga cintanya hanya tersimpan dan terkubur di dalam hati, yang akhirnya menyiksa batin dan diri kita sendiri.
“…anakanda tahu bahwa jika anakanda mencurahkan cinta kepadanya takkan buahnya dengan seorang yang mencurahkan semangkuk air tawar ke dalam lautan yang mahaluas, laut takkan berubah sifatnya karena semangkuk air tawar itu.”, “…bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.”, “Cuma ketika berhada[pan dengan Zainab dalam rumahnya, mulut saya tertutup, saya menjadi seorang bodoh dan pengecut.”

4.      Sudut Pandang
Sudut pandang atau titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkan (Aminuddin 2000: 90). Sedangkan Sumardjo (1986: 82) menyatakan bahwa pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah visi pengarang. Artinya sudut pandangan penceritaan yang diambil oleh pengarang untuk melihat suatu kejadian.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baribin (1985: 75-77) bahwa sudut pandang atau pusat pengisahan itu sebagai posisi atau penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu.
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari mana (pandangan siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Sudut pandang menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang digunakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebauh karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro 2005: 248).
Teknik pengarang mengemukakan informasi dapat dibedakan menjadi teknik dia-an dan teknik aku-an. Teknik dia-an adalah pengarang menceritakan tokoh-tokoh ceritanya dengan anggapan bahwa tokoh tersebut merupakan orang ketiga dalam teknik berkomunikasi. Dan teknik aku-an adalah pengarang menempatkan dirinya sebagai orang pertama dalam berkomunikasi atau menjadikan dirinya sebagai atau seolah-olah tokoh utama cerita.
Dalam menulis novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini, penulis menggunakan sudut pandang sebagai penonjolan yaitu “Aku-an” dua “Aku-an”. Di dalam novel tersebut terdapat dua tokoh sebagai “Aku” yaitu:
-        Pertama “Aku” sebagai tokoh utama, yang mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang di alaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.
            “Masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah wafat.”
-        Kedua “Aku” sebagai tokoh tambahan, yang hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedeangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.     
“Waktu itu saya naik Haji.”

5.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah yang menyangkut kemahiran pengarang mempergunakan bahasa sebagai medium fiksi. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain. Gaya bahasa cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis yakni: penegasan, pertentangan, perbandingan dan sindiran. Masing-masing jenis itu dapat diperinci lebih lanjut, misalnya metafora, personifikasi, asosiasi, parallel untuk jenis gaya bahsa perbandingan; ironisme; sarkasme, dan sinisme untuk jenis gaya bahasa sindiran; plenolisme; repetisi, klimaks, antiklimaks, retoris, dll. Untuk jenis gaya bahasa pertentangan. Penggunaan jenis gaya bahasa ini membantu pembaca dalam mengidentifikasikan perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapannya tentu akan berbeda wataknya dengan tokoh ynag menggunakan gaya bahasa sindiran atau pertentangan dan perbadingan.
Gaya bahasa yang digunakan di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” menggunakan bahasa melayu. Di dalam novel tersebut juga sering menggunakan bahasa pergaulan sehari-hari serta kalimat-kalimat yang sulit dimengerti.
“…jadi adalah dia seorang yang telah mukim di Mekah.”, “saya telah beroleh seorang sahabat yang mulia dan patut dicontoh.”, “itu senantiasa menjadi soal kepada saya.”, “…rupanya engkau dalam duka cita yang amat sangat.”, “…karena yang empunya.”, “…demikian nama jongos tua itu.”, “panggilan Nab, kasihan awak!”, “jika dia bangun kelak, berilah bubur ini barang sesendok kecil. Baiklah Mak,” kata saya.”, “Bilamana pakansi puasa telah datang,…”.

6.      Tema
Menurut Stanton (1965:88) dan Kenny (1966:20) dalam Nurgiantoro, tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Menurut (Hartoko dan Rahmanto) dalam Nurgiantoro bahwa tema merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semata dan menyangkut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan.
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar.  Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Atau gampangnya, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita.
Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain.
Tema ada yang dinyatakan secara eksplisit (disebutkan) dan ada pula yang dinyatakan secara implisit (tanpa disebutkan tetapi dipahami). Dalam menentukan tema, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: minat pribadi, selera pembaca, dan keinginan penerbit atau penguasa.
Dalam sebuah karya sastra, disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema sampingan. Tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Adapun tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.
Jadi novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka ini betemakan percintaan, seperti kebanyakan novel populer lainnya.
”Cinta itu adalah jiwa; antara cinta yang sejati dengan jiwa tak dapat dipsahkan, cinta pun merdeka sebagaimana jiwa. Ia tidak memperbedakan di antara derajat dan bangsa, di antara kaya dan miskin, mulia dan papa. Demikianlah jiwa saya, diluar dari kekang kerendahan saya dan kemuliaannya, saya merasai, bahwa Zainab adalah diri saya.”

7.      Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
Jadi amanat atau pesan yang ingin disampaikan penulis di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Buya Hamka tersebut adalah bahwa segala sesuatu membutuhkan pengorbanan. Kita sebagai manusia boleh berencana, berharap dan berusaha semaksimal mungkin, namun yang menentukan semua itu hanyalah Allah SWT semata.

8.      Hubungan antar tokoh
a.       Aku dan Hamid
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan tokoh Aku dan Hamid adalah Aku memandang Hamid sebagai seorang sahabat yang baik, penuh kesederhanaan, tidak lalai beribadah, tidak suka membang waktu, saleh, mulia dan patut dicontoh.
b.      Hamid dan Aku
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan tokoh Hamid dan Aku adalah Hamid memandang Aku sebagai seorang sahabat yang baik budi dalam pergaulan.
c.       Aku dan Saleh
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan tokoh Aku dan Saleh adalah Aku memandang Saleh seorang sahabat, sekaligus seseorang yang membuat keadaan dan sifat-sifat Hamid berubah.
d.      Hamid dan Saleh
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan tokoh Hamid dan Saleh adalah sebagai seorang sahabat lamanya diwaktu sekolah agama di Padang Panjang. Saleh datang ke Mekah telah mengubah hidupnya dan mengingatkannya ke masanya yang telah lalu.
e.       Saleh dan Hamid
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan tokoh Saleh dan Hamid adalah sebagai seorang sahabat lamanya yang baik di waktu sekolah agama di Padang Panjang, yang menaruh hati kepada Zainab dan selama ini telah lama menghilang tanpa kabar berita.
f.        Hamid dan Engku Haji Ja’far
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan Hamid dan Engku Haji Ja’far adalah Hamid menganggap Engku Haji Ja’far sebagai seorang penolong, sebagai seorang hartawan yang dermawan, yang baik hati, yang tidak sombong, berbudi mulia, sopan dan peramah tehadap pakir miskin, serta telah memberi jalan kepandaian yang luas terhadap ilmu pengetahuan.
g.       Engku Haji Ja’far dan Hamid
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan Engku Haji Ja’far dan Hamid adalah Engku Haji Ja’far menganggap Hamid sebagai seorang anak miskin yang harus ditolongnya, dia berharap Hamid cepat pintar dalam ilmu pengetahuan agama, dan akan membiayainya sampai tamat pelajarannya.
h.       Hamid dan Asiah
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan Hamid dan Mak Asiah adalah Hamid menganggap Mak Asiah sebagai seorang perempuan yang suka makan sirih, muka yang jernih, baik, peramah dan penyayang, tidak sombong dengan kekayaannya, yang memiliki pribahasa yang santun dan halus.
i.         Mak Asiah dan Hamid
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan Mak Asiah dan Hamid adalah Mak Asiah menganggap Hamid sebagai seorang anak yatim yang harus dikasihaninya, sebagai anak yang berbudi, yang telah menyabarkan hatinya, dan menganggap Hamid bagian dari keluarganya sendiri.
j.        Hamid dan Rosna
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini adalah Hamid menganggap Rosan sebagai sahabat lamanya diwaktu sekolah dulu, yang merupakan sahabat akrab Zainab.
k.      Rosna dan Hamid
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini adalah Rosna menganggap Hamid sebagai sahabat lamanya diwaktu sekolah dulu, yang malang menjalin cinta sucinya kepada Zainab sampai ke akhir hayat.
l.         Hamid dan Zainab
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan Hamid dan Zainab adalah Hamid menganggap Zainab sebagai seorang sahabat diwaktu kecil, yang telah menjadi panggilan antara abang dan adik, yang selama ini dicintainya dengan suci sepenuh hati, yang membuatnya sebagai seorang pengecut, membuatnya menderita sakit cinta berkepanjangan, dan menganggap Zainab bagian dari dirinya sendiri.
m.     Zainab dan Hamid
Di dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini hubungan Zainab dan Hamid adalah Zainab menganggap Hamid sebagai seorang pemmuda yang menjadi sahabatnya diwaktu kecil, yang telah menjadi panggilan antara abang dan adik, yang selama ini dicintainya dengan suci sepenuh hati, yang selama ini hilang tanpa kabar berita, sehingga membuatnya menderita sakit cinta, dan rindu berkepanjangan sampai ke akhir hayatnya.

9.      Hubungan Tokoh, Alur dan Latar
Hubungan antar tokoh, alur, dan Latar saling berhubungan, nama tokohnya ”Hamid, Zainab, Saleh, dan yang lainnya sesuai dengan alur dan latarnya, alurnya banyak menceritakan tentang keislaman dan latar atau tempatnya pun daerah islam, ”Padang, Padang Panjang, dan Mekah”,



 DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 2001. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Nurgiantoro, Burhan.1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
M.S Muhardi dan Hasanuddin WS. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.

0 Comments