Honorer Juga Manusia

Para pendidik, khususnya guru honorer sering dilema. Mengajar bayarannya rendah, bila tak mengajar siswanya terlunta-lunta. Iba.

Siapapun, hidup dilema akan penuh beban. Hidup bagai dihadapkan pada buah si malakama, “ditelan pahit dan dibuang sayang.” Begitu pula masalah pelik tentang dunia pendidikan yang terjadi di negeri ini. Khususnya guru, lebih khusus lagi guru honorer.  Mulai dari masalah kewajiban, hak, salary, sampai tunjangan yang menyakitkan kepala. Namun ujung-ujungnya tertelan juga.
Problema tentang tenaga pendidik ini sudah lama terdengar. Namun sampai detik ini belum ada titik terangnya. Masih banyak guru yang mengeluh, dengan biaya hidup yang masih melambung tinggi, namun pendapatan dari hasil mengajar “tanpa bekas.” Penghasilan hanya “sekedar basa-basi” saja dari pihak sekolah, sedangkan dari pemerintah tidak pernah ada. Lengkap sudah penderitaan para penyandang gelar “tanpa tanda jasa” ini, “gali lobang tutup lobang” seperti yang sering dilantunkan oleh raja dangdut, Roma Irama.

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya tanggal 30 Desember 2005, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika masih menjabat sebagai Presiden RI, telah mengukuhkan eksistensi guru dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). UU Guru dan Dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tercantum dalam pasal 39 Ayat (2), bahwa tenaga pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan juga bertanggung jawab.
Bertolak dari UU tersebut jelaslah bahwa tenaga pendidik, termasuk guru sangat dibutuhkan. Seperti yang dimuat dalam news.okezone.com, meskipun negara ini sudah memiliki 2, 9 juta guru namun Indonesia masih kekurangan guru sebanyak 400 ribu guru. Padahal setiap perguruan tinggi (PT) LPTK melahirkan ribuan calon guru tiap tahunnya. Muncul pertanyaan, kemana lulusan tersebut? Kenapa negara ini masih kekurangan guru? Analisisnya, bahwa lulusan guru banyak memilih kerja di perusahaan-perusahaan swasta daripada menjadi guru. Alasannya, di perusahaan swasta upahnya lumayan besar, sedangkan menjadi guru honorer upahnya kecil dan bercita-cita jadi guru PNS hanyalah mimpi.
Sungguh miris, tapi itulah faktanya. Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja masih banyak yang menuntut dan mengeluh upah. Bayangkan bagaimana pula para guru honorer, yang posisinya belum pasti, dan dengan upah yang tidak sebanding. Jika kita lihat, para guru honorer mempunyai kewajiban yang hampir sama dengan guru PNS. Namun apabila berbicara tentang upah, sangatlah jauh berbeda. Honorer, bisa dikatakan kerja keras tapi dibayar seadanya. Sebaliknya pemberitaan di berbagai media massa menyebutkan, bahwa masih banyak PNS yang keluyuran ketika jam mengajar, ke pasar, ke mall, atau ngerumpi di ruang guru, padahal mereka dibayar lebih dibanding honorer. Jadi siapa yang pantas dikatakan “tanpa tanda jasa” sebenarnya? Apakah honorer hanya dianggap sapi perah? Mereka juga manusia.
Di kota-kota besar misalnya, upah guru honorer hanya baru sekadar untuk makan sehari-hari, namun belum bisa dikatakan cukup. Tentu saja hal ini karena pendapatan pas-pasan, tetapi harga-harga bahan pokok tetap melonjak tinggi. Tidak jarang guru honorer harus punya talenta lain agar bisa mancari penghasilan dari sumber yang lain pula. Setelah pulang mengajar, selain berlomba dengan waktu mereka juga bersaing dengan pihak lain untuk berbagai profesi. Misalnya menjadi juru parkir, jadi tukang ojek, berdagang, dan lainnya.   
Di daerah-daerah pelosok, guru honorer lebih miris lagi nasibnya. Contohnya saja, di daerah Kabupaten Mukomuko, masih ada guru honorer SMP dan SMA yang diupah Rp. 300.000,- yang dibayar per tiga bulan bahkan lima bulan sekali. Padahal kewajiban yang diembannya sama dengan guru-guru PNS. Kecilnya upah ini pula yang menyebabkan merosotnya kualitas pembelajaran di sekolah. Kita harus berbicara jujur, bahwa tidak akan ada yang semangat untuk mengajar jika dibayar hanya “sekadar.” Jadi tidak bisa juga guru yang disalahkan jika hasil belajar siswa kurang maksimal.
Menurut Direktur Regional Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) Asia Tenggara, Mark Billington di media Antara bulan Maret yang lalu, bahwa Indonesia kekurangan tenaga pengajar berkualitas dalam memenuhi banyaknya sekolah-sekolah yang baru dibangun selama masa puncak ekspor minyak pada 1970-1996 lalu. Hal itu menyebabkan standar pendidikan di Indonesia menurun secara permanen. Padahal dalam UUGD 2005 pendidik, termasuk guru dituntut agar bisa sehat, berilmu, cakap dan kreatif. Bagaimana memenuhi semua itu? Jangan sampai tuntutannya banyak, tapi hak yang diterimanya tidak layak.
Titik pangkal masalah ini terletak pada pendapatan para guru tersebut. Meskipun tidak semua guru berprinsip bahwa upah bukanlah segala-galanya, tapi tidak sedikit juga para guru tersebut mempermasalahkan tentang upah ini. Ibarat kata bijak, “uang bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya butuh uang.” Zaman sekarang segala sesuatu itu bisa diukur dengan hasil atau pendapatan. Artinya, keberhasilan para guru dalam mengajar juga tergantung pada penghasilan yang didapatnya. Apabila upah sesuai, tentu guru tersebut bisa fokus dan juga bisa mengajar dengan leluasa serta maksimal mungkin sesuai tuntutan dunia pendidikan.

Butuh Perhatian Pemerintah
Guru bisa dikatakan sebagai tonggak ilmu. Tanpa guru hidup ini apalah artinya. Sejatinya guru juga manusia, yang butuh hidup dengan sandang dan pangan. Bagaimana seorang guru mendidik dengan kreatif dan leluasa, sedangkan perutnya terus meronta iba. Bagaimana guru bisa mengajar dengan rasa senang dan bahagia, sedangkan hidupnya saja masih jauh dengan namanya bahagia. Bagaimana guru harus menjawab bahkan bertanya kepada siswanya tentang bahagia, sedangkan hidupnya sendiri kehilangan kata sejahtera.
 Jika ditanya, siapa yang tidak ingin hidup bahagia dan sejahtera? Semua orang pasti butuh dan mau, begitu juga dengan para guru. Lihatlah, begitu banyak orang-orang sukses yang telah berhasil mereka cetak. Baik pengusaha, penulis, politikus, ilmuwan, pemimpin, bahkan kaum-kaum pendidik sekaligus. Sebenarnya mereka juga pantas untuk bahagia dan sejahtera. Namun nyatanya, yang terjadi justru malah sebaliknya. Ibarat sebatang lilin, mereka menerangi orang lain, tapi diri mereka sendiri serba kesulitan, dan ujung-ujungnya hilang.
Kita harus ingat, bahwa jasa seorang guru bisa dikatakan tidak ada bandingnya. Demi melahirkan generasi penerus yang berkualitas dan unggul, profesionalitas para guru memang menjadi salah satu syarat utama untuk mewujudkannya. Pemerintah harus bisa mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan taraf hidup profesionalitas guru-guru di tanah air, termasuk tenaga guru honorer. Hal ini juga sebagai wujud yang telah dicanangkan oleh SBY pada 2 Desember 2004, dan yang tercantum dalam UUGD No. 14 tahun 2005. Tujuannya, agar status sosial profesi guru ini meningkat sehingga profesi guru memang betul-betul diminati, dan tidak lagi sebagai “pelarian” para pencari kerja, yang kerjanya sambilan sehingga hasilnya kurang memuaskan.
Bertolak dari itu pula, sudah saatnya pemerintah sadar dan memperhatikan kaum pendidik guru honorer. Tentu saja sesuai dengan tanggungjawab atau kewajiban yang mereka emban. Meskipun status mereka berbeda, namun jangan terlalu membeda-bedakan hak mereka. Bagaimanapun juga, profesi mereka itu sama. Sama-sama profesionalime sebagai kaum pendidik untuk mencerdaskan anak bangsa. Selain itu, sudah sepantasnya pula pemerintah benar-benar merealisasikan wacana yang dulu pernah dilontarkan tentang kesejahteraan guru honorer. Bukankah tenaga guru honorer juga disebut guru? Artinya honorer juga bagian yang termasuk dalam UU tersebut.
Baru-baru ini ada juga pemberitaaan wacana tentang tenaga honorer ini yang diterbitkan oleh www.harianterbit.com, bahwa Komisi X DPR yang membidangi masalah pendidikan berkomitmen untuk mensejahterakan para guru terutama guru honorer yang kesejahteraannya selama ini tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda). Komisi X DPR akan mewajibkan seluruh Pemda mengatur ketentuan gaji para guru honorer minimal sama dengan Upah Minimum Kerja (UMK) di masing-masing daerah. Sehingga efek pendidikan ini benar-benar merata, bukan untuk guru diperkotaan saja.
Sebisa mungkin hal ini tidak hanya sekedar wacana belaka, namun benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Selama ini tidak pernah diatur tentang upah guru honorer, sehingga masih banyak guru-guru honorer di daerah yang mendapat upah yang tidak layak, bahkan tidak diupah sama sekali. Meskipun nantinya, tidak ada jaminan guru-guru tersebut bahagia dan sejahtera. Paling tidak, ini salah satu wujud peduli dan juga sebagai langkah awal untuk mensejahterakan para guru, khususnya guru honorer yang selama ini kurang mendapat perhatian. Tentunya, karena mereka juga manusia yang butuh perhatian, agar mereka benar-benar bisa mengajar dengan hati dan hati-hati, profesional, cinta, kreatif, dan penuh tanggungjawab, demi mewujudkan cita-cita pendidikan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Jika tidak, negeri ini pasti masih penuh dengan caci-maki.
Mahasiswa Program Magister FBS UNP, 2014.
Dimuat pada Harian HALUAN Padang, 13 Mei 2015

0 Comments