Saat Pendiam Memeluk Hidupku

Aku seorang remaja yang terlahir di daerah perbatasan antara Propinsi Bengkulu dengan Propinsi Sumatera Barat, Muko-muko itulah namanya. Ayah dan ibuku merupakan seorang petani yang sangat sederhana. Sejak kecil aku sangat jarang bermain layaknya anak-anak sebayaku, karena aku dan keluarga selalu menghuni ladang yang cukup jauh dari kampungku.

Sehingga aku tergolong orang yang pendiam dan minder bermain dengan teman lainnya. Waktu itu, hanya Sekolah Dasar yang ada di kampungku, otomatis aku tidak pernah sekolah di Taman Kanak-kanak (TK) seperti layaknya anak-anak sekarang. Semenjak masuk SD, aku tergolong anak yang patuh kepada guru, karena aku semenjak kecil sudah dididik agar patuh dan hormat kepada orang tua bahkan kepada orang lain. Sifat itu mengantarku untuk meraih juara di kelasku sampai aku menamatkan pendidikan dari seragam merah putih itu. Walaupun begitu, aku merasa belum bisa memberi kebanggan yang lebih untuk kedua orang tuaku.

Dulu, aku sangat sangat iri melihat teman-teman sebayaku meraih piala dalam lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di daerahku setiap tahun pada bulan Ramadhan. Namun sifat pendiam mengalahkan semua anganku, aku sangat pemalu bahkan penakut untuk berbicara di depan umum. Sehingga aku tidak pernah mau disuruh atau tidak berani belajar mengaji kepada orang lain yang lebih pintar, selain orang tuaku yang hanya bisa membaca biasa-biasa saja. Setiap diadakan lomba MTQ, namaku selalu tidak diperhitungkan bahkan hanya bahan tertawaan teman-teman atau masyarakat saja. Aku selalu gagal meraih juara, tingkat anak-anak waktu itu. Selain keterbatasan biaya, itulah salah satu alasan aku sekolah di pesantren yang masih dekat dari kampung tempat tinggalku. Di pesantren yang bernama Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Agung Jaya itu, aku mulai menjalani proses belajar yang lebih giat dalam mencapai keinginan serta cita-cita agar bisa membuat orang tuaku selalu tersenyum.

Hari demi hari, minggu berganti bulan, aktivitas itu aku jalani dengan penuh senyum ketulusan, sehingga aku selalu diperhitungkan dalam kategori empat besar di kelasku. Namun sejak bulan sudah berganti tahun, herannya aku belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Jangankan masalah irama dan tajwidnya, bahkan aku sering kali salah dalam membaca hurufnya yang membuatku selalu grogi membaca Al-Qur’an jika disuruh oleh guruku. Hingga aku mulai menyesal dengan sosok pendiam yang telah ditakdirkan untukku. Waktu itu aku berpikir aku adalah seorang yang sangat bodoh, hampir putus asa. Akhirnya sifat malas dan nakal mulai menghampiri hidupku. Jauhnya jarak aku mengitari jalan dengan sepeda menuju sekolah, membuatku sering terlambat, tidak masuk, bahkan membolos. Kehidupan itu aku jalani hingga aku lepas dari balutan pakaian pesantren tersebut. Alhamdulillah, nilai di ijazah pesantrenku lumayan memuaskan. Walaupun berawal dari SD sampai tamat pesantren aku tidak pernah masuk hitungan dalam lomba MTQ di daerahku.

Sedihnya, kembali lagi keterbatasan biaya serta pengaruh pikiran bodohku itu membuatku untuk menganggur. Hari-hariku mulai sibuk membantu orang tuaku bekerja, bekerja, dan bekerja tanpa mempedulikan cita-citaku dulunya. Sebab kegagalanku meraih juara di lomba MTQ, pikiran kolotku mengartikan sekolah tidak lain hanya menyusahkan orang tua belaka. Sungguh mengejutkan, aku mendapat tantangan untuk menjadi sekretaris Remaja Islam Mesjid (RISMA) dibidang TPA/MDA di kampungku. Hanya dengan sifat pendiamku itu orang mengira bahwa aku mempunyai nilai lebih dibidang agama, apalagi aku baru saja tamat dari pesantren. Padahal sebenarnya aku tidak bisa apa-apa.

Dengan ketulusan hati aku terima tawaran tersebut, paling tidak untuk mengisi waktu luang sekaligus belajar setelah bekerja pikirku. Aku mulai bekerja keras mengajarkan anak-anak mengaji, shalat, dan ilmu agama lainnya. Kegiatan tersebut memaksaku belajar sendiri melalui buku-buku yang aku pinjam diwaktu masih di pesantren dulu, agar aku tidak memalukan dalam mengajarkan anak didikku. Alhamdulillah, mungkin cahaya Illahi datang sehingga usahaku benar-benar berhasil. Keberhasilan yang dicapai tersebut memberi respon positif dari masyarakat, aku mulai lebih dihargai atau diperhitungkan dalam setiap kegiatan keagamaan. Pengurus mesjid bahkan perangkat desa mulai sepakat mendatangkan guru mengaji yang handal di daerahku. Setiap malam hal itu selalu mendorongku untuk belajar mengaji, baik dari tajwid sampai masalah iramanya. Sehingga tumbuh rasa kegilaan dalam mendalami ilmu tentang membaca Al-Qur’an yang baik dan benar.

Kegilaanku dalam membaca Al-Qur’an kemudian mampu menghilangkan rasa takut, pemalu, pendiam, serta membangkitkan motivasiku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ujung-ujungnya jabatan sekretaris RISMA tersebut tetap aku gandeng sampai menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di salah satu kecamatan di daerahku. Aku mulai berani mengaji di depan umum, bahkan sempat meraih juara 2 dan 3 MTQ tingkat remaja, serta juara 1 Adzan tingkat remaja se-Kecamatan di daerahku. Sehingga aku tidak lagi menjadi tertawaan orang-orang disekitarku karena tidak pandai mengaji. Sekarang aku sering ditunjukkan sebagai pembaca Al-Qur’an di acara-acara dikampungku, bahkan juga di organisasi kampusku, karena aku sudah kuliah menginjak semester enam di perguruan tinggi negeri di kota Padang Sumatera Barat.

Kini, aku bisa menjadi bagian bahkan mengalahkan teman-teman yang sempat membuatku iri dulu. Aku semakin tahu, sifat iri hati merupakan sifat yang tidak baik. Jika kita ingin meraih kesuksesan, mulailah memilki sifat tekun dan berani mencoba segala hal. Jadi kegagalan aku dulu merupakan kesuksesan yang tertunda, segala sesuatu yang ingin kita capai itu harus dilakukan dengan jiwa keberanian serta tanggung jawab, tanpa mengenal putus asa adalah kuncinya. Memang mencoba adalah sebuah pengalaman yang berharga bagiku, karena aku berani mencoba mulai mengajar anak-anak, sampai mencoba belajar mengaji kepada orang lain, sehingga aku bisa mengurangi sikap pendiam, pemalu, dan penakutku dulunya.
=Sekian=

Penulis, Wahyu Saputra

0 Comments